[Buku] Dilema Islam Politik


Data Buku
Islam Politik Sebuah Analisis Marxis
Deepa Kumar
Penerjemah: Fitri Mohan
Resist Book, 2012
xx + 74 hlm

MATERIALISME historis sebagai salah satu pintu masuk melihat perkemban­gan sejarah masyarakat, tanpa terkecua­li pada Islam, menarik untuk dicermati. Berpijak pada kondisi-kondisi material, analisis terhadap perkembangan seja­rah masyarakat Islam memunculkan keterpisahan pelbagai peran. Peran yang dulu diampu oleh Muhammad, da­lam perjalanannya menurut kenyataan (secara de facto) mulai terpisah.

Sewaktu masih hidup, semua peran utuh berada pada diri Muhammad, baik urusan agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Pasca-Nabi wafat, muncul beragam konflik. Secara singkat, mulai dari siapa menjadi pengganti beliau, peristiwa tahkim pada perang Siffin, luas wilayah kekuasaan Islam, sampai pada masa kemunduran peradaban Islam di Eropa. Dari pascawafat Nabi itulah peran mulai terpisah, terbagi.

Kemunduran peradaban Islam, pada pihak lain, Barat (Kristen) menca­pai puncak, setelah keluar dari Abad Pertengahan. Kegemilangan peradaban Islam dahulu, kini pada masa modern, mulai bergolak. Islam muncul sebagai kekuatan politik atau disebut sebagai Islam politik. Islam politik ditengarai sebagai bentuk perlawanan dan peno­lakan Islam terhadap peradaban Barat yang sekuler.

Orientalis menyebut bahwa Islam politik merupakan bentuk keterpisahan yang alamiah, disebabkan oleh kondisi material yang menyelimuti perkemban­gan sejarah masyarakat Islam. Preseden paling menonjol adalah tragedi 11 Sep­tember 2001 dan tesis Samuel Hunting­ton. Menambah deretan bagi Islam untuk bergerak melawan. Lantas, ba­gaimana melihat perkembangan Islam berangkat dari kondisi-kondisi material yang melatarbelakangi perkembangan sejarah masyarakat Islam?

Islam Politik Sebuah Analisis Marxis, (judul asli, Political Islam: A Marxist Analysis) karya Deepa Kumar, secara padat menjelaskan kondisi demikian di atas. Bahwa, perkembangan peradaban Islam tidak melulu berlandaskan pada nilai ajaran, tetapi pula oleh kondisi material yang mengiringi sekaligus juga menuntut untuk menjaganya.

Coen Husain Pontoh dalam kata pengantar buku, memberi andil jalan masuk paparan secara singkat material­isme historis, metode Marx. Masih dari kata pengantar, diketahui pula perha­tian buku Kumar ini ada tiga poin. Per­tama, tesis tentang menyatunya agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah tidaklah benar. Kedua, konsekuensi dari tesis itu, Islam politik merupakan akibat dari situasi politik kontemporer. Ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan Islam politik, (hlm. xiii).

Ketiga poin itu, beranjak pada mate­rialisme historis bahwa sejarah terjadi bukan dari dalam (gagasan) manusia itu sendiri, tetapi dari kondisi luaran (kondisi-kondisi material) membentuk manusia yang menyejarah.

Keterpisahan antara agama dan politik, sekaligus juga munculnya ket­erpisahan pelbagai peran dalam Islam, disebabkan oleh makin luasnya wilayah penguasaan Islam. Akibat dari itu dan beragamnya adat kebiasaan masyarakat serta untuk disatukan ke dalam satu kesatuan Islam. Dari sini dikembang­kan serangkaian aturan hukum untuk diterapkan kepada seluruh umat Islam secara seragam. Ulama kemudian ditugaskan untuk memformulasikan hukum baku, syariat, (hlm. 8).

Peran ulama, meskipun di bawah kekuasaan pemimpin, khalifah atau sul­tan, tetapi keberadaanya berdiri pada posisi yang berbeda. Demikian pula den­gan mereka yang menulis dan mereka yang menghunus pedang (hlm. 10).

Demikian juga dengan tugas-tugas panglima perang, para bala tentara, juru administrasi, dan keuangan, masing-masing diampu oleh orang yang berbeda. Hal ini yang kemudian menjadikan peran itu terpisah, terbagi kebutuhan. Namun, keterpisahan yang dimaksud bukan berarti secara tegas, secara de facto dalam bahasa Kumar. Berbeda halnya dengan sekulerisme Barat, pemisahan antara domain agama dan peran negara.

Pasca peristiwa 9/11, akibat lanjut adalah stigma negatif terhadap Islam. Islam dicap sebagai agama teror. Barat, terutama Amerika Serikat, lantas me­nyuarakan perang terhadap terorisme. Perang dilakukan tidak hanya mem­buru pelaku teror, Al Qaeda, tetapi juga invasi militer (awalnya) terhadap Irak, dengan dalih (mencari) senjata pemus­nah massal.

Islam lantas menjadi “musuh utama” dari segala unsur kedigdayaan Amer­ika. Berlangsung sampai musim semi Arab sekarang ini. Balasan dari gerakan Islam disebutnya teror, pelaku teror adalah kelompok fundamentalis.

Kelompok ini berusaha mengem­balikan peradaban Islam, memakai Islam sebagai basis politik perlawanan. Masyarakat Islam kian kepalang akibat perkembangan kapitalisme lanjut.
Pada posisi demikian, Islam politik seperti dua sisi mata uang. Amerika memanfaatkan posisi Islam dan Islam politik, guna membendung kekuatan blok timur, kelompok kiri, yang berse­berangan dengan demokrasi, liberal­isme Amerika. Sekaligus juga sebagai palang pintu pasca kekosongan ideologi, era perang dingin.

Pada sisi lain, Amerika sendiri terus melancarkan perluasan wilayah dan dominasi penjajahan. Intervensi dan dominasi imperialis berhasil memben­tuk kekuatan ekonomi neoliberal.

Apresiasi lebih buku Kumar, padat berisi, mengejutkan, memberi terang bagaimana operasi kondisi material pada Islam politik. Namun, di luar kon­teks buku, dilema lain sebenarnya juga muncul. Terkait dengan term para ori­entalis, Barat dalam mengkategorikan gerakan yang bernapas Islam.

Bagaimana term itu bisa tersemat pada gerakan Islam untuk keluar dari hegemoni Barat. Perlu juga dilihat kategori-ketegori apa yang menjadikan gerakan Islam disebut sebagai gerakan revivales, fundamentalis, dan radikalis. Sedangkan penamaan itu muncul dari luar. Dari dalam gerakan sendiri, per­juangan yang dilakukan semata adalah untuk keluar dari jerembab intervensi dan imperalisme Amerika dan sekutu. Meskipun Islam itu sendiri, seperti menjadi dasar gerak, diformulasi men­dulang massa, spirit perlawanan, dan keberpihakan atas kondisi yang ada.

Di muat Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2013.

Komentar