Untuk mengawali tulisan ini,
pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia kepada kita semua. Betapa besar apa yang kita dapat dalam
hidup ini, nafas untuk hidup, mata untuk melihat, akal untuk berfikir, hati
untuk merasa hamparan kebesaran Tuhan, Tuhan yang menguasai siang dan malam,
Tuhan Adam a.s sampai Muhammad SAW, penguasa seluruh alam, tiada sekutu
bagiNya. Kedua, Shalawat serta salam semoga
terlantunkan kepada baginda Rasul Allah, Nabi Muhammad SAW, Rasul penutup
seluruh Nabi, seorang yang ummi, pembawa risalah terakhir, lewat
beliaulah Islam sampai kepada hati kita sampai saat ini, detik ini dan semoga
saja kita bagian dari ummatnya. Amin.
Pada hari yang kesekian melaksanakan
ibadah puasa Ramadan ini, barangkali sudah banyak apa-apa yang kita dapatkan,
begitu juga dengan saya sendiri, sedekat-dekatnya dalam konteks ini adalah
jemari kedua tangan ini, masih bisa digerakkan untuk menyusun kata demi kata,
sekedar untuk menyampaikan sesuatu hal, lebih-lebih untuk berbagi. Sesuatu hal
itu, bagi saya yang tidak begitu pandai menangkap pengetahuan, yang kemudian
dituangkan kedalam tulisan. Saya pikir inilah kekurangan yang saya rasakan,
bukan berarti pula tidak menerima apa-apa yang sudah, justru dengan begitu
proses belajar sampai kapanpun diwajibkan sampai liang lahat.
Hal ihwal tulisan ini sebenarnya sama
dengan tulisan yang sebelum-sebelumnya, tergali dari ceramah, ulasan orang
lain, hasil bacaan dan pengalaman keseharian dengan banyak orang. Dari sanalah
inspirasi itu muncul, mendadak begitu saja, bisa jadi bukan hal yang baru,
seadanya, biasa-biasa saja, merujuk pendapat, menukil gagasan, tafsiran dan
bisa jadi pula bukan apa-apa.
Apalagi untuk mengulas masa lalu, masa
yang telah berlalu dengan datangnya masa kini. Masa kini yang juga kemudian
juga akan berlalu dan menjadi masa lalu. Tentunya ada batasan untuk menilai masa
itu dikatakan yang lalu atau yang kini, saat ini juga. Letak batasannya dimana?
Kalau setelah diucapkan dan begitu berlalu ia akan menjadi masa lalu, sedetik
atau sedetiknya detik ia keluar selanjutnya akan menjadi lalu, sebab ia telah
terucapkan, terlontar keluar.
Keberlaluan itu saya pikir hal yang
menjadi batasan menilai yang ini masa kini, setelah itu berlalu. Kalau sudah
berlalu hal yang awalnya masa kini, akan bertumpuk dengan banyak kenyataan
lain. Misalnya saja mengulas pesan terakhir Nabi berikut ini. Pesan yang
ditujukan kepada ummatnya sebelum beliau wafat;
“Wahai
ummatku…ummatku…ummatku… saling melindungi sesama diantara kalian, tegakkan
keadilan, perlakukan perempuan baik-baik, jangan cabut hak orang lain…”
Pesan Nabi diatas saya tahu-dengar-peroleh
dari ceramah, lebih lepatnya orasi mas Eko Prasetyo S.H tadi malam,
Rabu, 01 Agustus 2012. Ia bertindak sebagai penceramah terawih di masjid
Syuhada, Jogja, hanya petikan pesan ini saja yang saya ambil. Selesai dari sana
kemudian saya coba cari buku, sebagai rujukan, ternyata tidak ketemu, tidak
saya punyai, maka dari itu pesan diatas merujuk pada ceramah diatas, dan dari
pesan dalam ceramah itu juga tulisan ini tersusun.
Empat hal yang dititahkan Nabi kepada
ummatnya itu, kini apakah masih diingat?, atau barangkali sudah coba
diusahakan?, atau barangkali sudah diwujudkan?, atau barangkali
sudah terlupakan?. Nabi wafat pada tahun 633 M, pada umur 63 tahun. Berarti
sudah 1379 M lalu pesan itu disampaikan, peristiwa itu terjadi. Generasi
pertama adalah para sahabat, khulafa’u rasyidin, kemudian tabi’in,
tabi’in tabi’in, semua pastilah berusaha ingin mewujudkan pesan itu,
sampai sekarang juga.
Pesan yang disampaikan Nabi diatas
sebagai peristiwa pertama dalam rentang sejarah sampai sekarang bisa
jadi tertumpuk dengan beragam lapisan-lapisan sejarah lain yang berada
disekitaran. Ataupun telah bercampur aduk dengan kepentingan penafsir
belakangan. Maka dari itu, akan sulit untuk menggali dalam konteks menggali
pesan peristiwa pertama. Yang ada adalah tafsir atas peristiwa pertama,
kemudian tafsir dari tafsir atas peristiwa pertama dan seterusnya,
sampai-sampai yang ada hanyalah penafsiran padanya dan kemungkinan besar bisa
menjadi klaim kebenaran atas peristiwa pertama.
Sebagai al-Amin, orang yang
dapat dipercaya, pesan itu pasti dengan sendirinya sudah dilaksanakan oleh
Nabi. Sebagai tokoh nomor satu, kata Michael H. Hart, yang berhasil luar
biasa, baik dalam hal spiritual maupun kemasyarakatan, tentu saja menjadi
rujukan utama bagi orang-orang dikemudian dari dalam hal yang sama, tetapi
dalam konteks yang berbeda, melaksanakan pesan seperti Nabi telah praktekkan. Mengapa
berbeda? seperti yang sudah diterangkan sekilas diatas, peristiwa pertama
pesan itu disampaikan langsung oleh Nabi, selanjutnya kemudian, bisa saja dalam
melaksanakan pesan itu sudah tercampur dengan kepentingan aliran, madzhab
tertentu, karena pelaksana pesan berbeda.
Taroklah misalnya, dalam konteks Negara
sebagai pelaksana pesan, tugas itu dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam
pemerintahan ada presiden, menteri, anggota dewan, keamanan dan lainnya,
semuannya ini adalah pelaksana pesan secara struktural. Demikian halnya, untuk
melaksanakan pesan itu, bukan tidak mungkin, malah cenderung, melihat kepada
pihak mana dulu yang perlu dilindungi, keadilan dimuka hukum mana dulu yang
perlu diterapkan, perlakukan perempuan mana dulu yang perlu diskreditkan, cabut
hak mana dulu perlu disegerakan. Karena sudah berbaur dengan kepentingan
golongan, politik-kekuasaan, modal, ekonomi, global.
Semua pesan itu kini, terlihat jelas,
gamblang, menimpa sebagian besar pada yang miskin, terpinggirkan, monoritas, wong
cilik. Seringkali terjadi dan disaksikan bagaimana konflik horizontal
menimpa negeri, begitu katanya melindungi sesama. Keadilan, jangan mimpi, pemimpinanya
saja tidak adil. Perlakukan perempuan baik-baik, jangan bergurau, seperti dalam
sinetron, iklan, flim. Cabut segera, hak orang lain, mengganggu ketertiban umum
pemerintahan saja. Beginikah pesan itu dijalankan?. Jadi peristiwa
pertama yang lampau itu kini telah dijalankan, beginilah keadaannya.
Komentar
Posting Komentar