Perjalanan Jurnalistik yang Sastrawi

Data Buku
Judul: Dari Jawa Menuju Atjeh: Kumpulan Tulisan tentang Politik, Islam dan Gay
Penulis: Linda Chistanty
Penerbit: KPG, 2009
ISBN: 978-979-91-0154-9
Tebal: xv + 200 halaman

Buku karya Linda Chistanty berikut adalah pembukuan pengalaman. Pengalaman berjumpa dengan sejumlah orang-orang, diajak bicara, wawancarai, lantas tersusun khas seorang jurnalis. Tulisan Linda menggambarkan keadaan orang-orang seperti Pram, Wiji Thukul, Bre, tsunami Aceh, keluarga dekat Hasan Tiro  dan lainnya seperti caranya. Cara bertutur kata dalam berita singkat. Jadi ketika membaca buku Linda ini bagaimana Jurnalistik yang Sastrawi itu, terlihat mampak didalamnya. Peraih Khatulistiwa Literary Award 2004 ini, kini memimpin kantor berita Aceh Feature Cervice di Banda Aceh. Tulisan-tulisan yang kemudian dibukukan, ada semuanya lebih dulu dipublikasikan di media. Dimana ia terlibat di dalamnya, semenjak tahun 2000 sampai tahun 2008. Pada tahun 2009 diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), tebal xv + 200 halaman.

Tujuh belas tulisan Linda adalah catatan perjalanan, pemikiran dan keperduliannya (melihat orang-orang) “Dari Jawa Menuju Atjeh”. Merupakan “Kumpulan Tulisan Politik, Islam, dan Gay”. Ulasan politik lebih banyak dibandingkan dengan dua lainnya. Begitu juga dengan Aceh, tulisan tentang Aceh lebih dominan di bandingkan dengan Jawa. “Ketika Pertama ke Aceh” tahun 2005, Linda melihat sendiri, mengamati dan menikmati pengalaman pertamanya itu. Sembari membicang soal GAM berikut juga Syariat Islam di Serambi Mekkah paska tsunami. Tulisan tentang Aceh juga ada banyak dibagian akhir-akhir.

Sebagai seorang yang berpengalaman di bidang jurnalistik, tulisan Linda tidak beranak pinak. Namun ringkas, padat dan tetap mengalur. Semua gaya tulisan tersaji seperti itu. Pada halaman 23 misalnya; “Aji melarang tegas wartawan menerima amplop. Namun, Sofyan Lubis dari PWI berpendapat amplop boleh diterima asal tidak mempengaruhi pemberitaan.” Linda mengulas, jelasnya memaparkan para peliput berita, wartawan amplop, sebutan bagi pengokor penguasa, darinya menjadi sumber berita dan penyumpat mulut sekaligus. “Jurnalisme dalam Sepotong Amplop”, pertama kali dipublikasikan di majalah Pantau, tahun 2000, merupakan rekaman Linda ketika melamar kerja sebagai wartawan.

Sebagai seorang wahasiswa Sastra, Linda tidak hanya dekat dengan karya-karya sastra terkemuka. Ia juga terlibat langsung dalam politik praktis, sebelum mentas setahun setelah Reformasi. Bertemu dengan Pram, bersahabat dengan Wiji Thukul menjadi gambaran kekuatannya dalam melihat lembar sejarah rezim Sorharto. Kekuasaan rezim Orde Baru, pada permukaan terlihat tentram, namun di dalam bergelojak. Begitu juga dengan pemikiran Linda. Tercacat sebagai salah satu anggota organisasi Mahasiswa, berjuang menyuarakan penderitaan rakyat adalah tugas utama aktivis. “Arus Balik dalam Hidup Pramoedya Ananta Toer” dan “Wiji Thukul dan Orang Hilang” menjadi catatan sekaligus pengalaman penting bagaimana perjuangan itu dilakukan.

Paska reformasi, gaung kebebasan perlahan dapat dinikmati seluruh. Meski juga meninggalkan luka yang dalam, khususnya Tionghoa. Ekonomi juga belum pulih dari krisis, namun tak menyurutkan orang-orang daerah bertarung nasib ke Ibukota. Jakarta yang keras, kadang datang dan menjadi pengasong sampah, tidur beratap terpal lusuh, berdinding kardus, beralas karpet dekil. Untuk memenuhi kebutuhan hidup tak jarang, orang akan melakukan hal apapun. Sekalipun harus dengan nyawa, kadang terpaksa dilakukan. “Hikayat Kebo” mengisahkan orang-orang terpinggirkan di Jakarta yang demikian. Kriminalitas pada kawasan ini juga terlihat, baik sebagai pelaku ataupun kondisi dalam keadaan tersebut. Hidup Kebo yang tragis, mati dibakar para tetangga dan juga kerabat Istrinya. Lantaran kelakuannya yang meresahkan. Peristiwa pembakaran oleh massa ini, menjadi berita penting di media massa dan televisi. Malah hampir semua sekarang di media memuat hal yang demikian, sajian berita menu kriminal. 

Nama Tri Sabdono mungkin orang tidak terlalu mengenalnya. Tetapi kalau “Namuku Bre Redana” orang akan cepat menangkap lekat dengan harian Kompas. Waktu itu, “ia redaktur budaya sekaligus kepala desk Kompas Minggu” (hlm. 75). Disini Linda memotret liku hidup Bre. Semenjak lahir sampai keinginannya mengakhiri karir di Kompas. Diskriminasi yang dialaminya, karena ada kedekatan dengan Komunis. Kuliah di Inggris, Darlingtone College of Technology. Di Coffe Club, mengamati lalu larang anak-anak gaul zaman sekarang. Semua tersaji disini, barangkali latar belakang Bre Redana ada banyak terungkap disini.

“Adakah Pelangi dalam Islam?”, pertanyaan ini menaggapi kenyataan maraknya Radikalisasi Agama. Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah respon kemunculan kelompok Radikal itu. JIL dalam perkembangan Islam di Indonesia memberi corak tersendiri. Beberapa pentolan JIL adalah anak Kyai atau paling tidak dekat dengan pesantren. Posisi nalar ditunggung tinggi, mengedepankan rasionalitas, diskurus wacana, menjadikan JIL banyak digandrung banyak dilirik kalangan. Baik intelektual muda NU maupun dari para pemikir dan budayawan. Tetapi bagi FPI, JIL ‘haram’. Konfrontasi keduanya beberapa muncul disini. Islam ‘versi’ JIL ini, berikut pergolakan punggawa-punggawa di dalamnya saja yang terlihat jelas,untuk mewakili tulisan tentang Islam.

Begitu juga dengan Gay.  Majalah “Gaya Nusantara” (GN) adalah majalah bagi kalangan Gay dan semacamnya. Pertama kali terbit tahun 1997 (hlm. 106). Cukup panjang yang dikemukakan oleh Linda disini. Dari halaman 101 sampai halaman 122. Ada banyak cerita di dalamnya. Cerita tentang orang yang ‘berbeda’ pada umumnya. Tetapi bagi mereka, justru menemukan diri di dalamnya. Ada penjelasan tentang apa itu lesbian, homoseksual, biseksual, transjender. Melihat secara spikologis, sejarah, potret di negara lain, kedokteran juga ada di sini. Namun, sepertinya, disini, hanya ingin menjadikan legitimasi agar keberadaan mereka diakui sama pada umumnya, wajar adanya.

“Kenzaburo Oe dan Gerbang Dewa Guntur” berangkat dari masa kecilnya dulu, di Bangka, tentang Jepan. “Sejak mengenal Makagawa-san, saya jadi tertarik belajar bahasa Jepang” (hlm. 131). Selain suka pada sastra Jepang, Linda juga pergi ke Jepang. Tulisan yang pertama kali dipublikasikan oleh Japan Foundation tahun 2005 ini, keseriusan untuk mengenal tradisi Jepang. “Samurai” adalah khas Jepang. Namun yang paling mencengangkan adalah bunuh diri, “harakiri”. Bagi orang Jepang bunuh diri adalah tindakan terhormat. Berani berbuat berani menanggu akibat. Meski tragis, mengerikan, namun membebaskan diri dan keluarga daripada hidup dirundung malu.

Dari Jepang cerita kembali ke Aceh tentang sekelompok tentara “Batalion Terakhir”. Paska damai Aceh, semua tentara ditarik dari tugas. Sambil duduk santai di warung, senda gurau dengan tentara, Linda berbicara seolah tak terlihat kengerian disana. Di saat lalu, mereka memburu GAM, manusia Indonesia juga, kini juga berakhir, dan fhoto bersama mengiringi keriangan di warung tepi pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Gempa bumi dan di susul tsunami tahun 2004 lalu, tidak hanya menimpa Aceh, tetapi juga kepualan Nias. “Tak Ada Jalan Lain ke Teluk Dalam” adalah usaha menjacapai lokasi ibukota Nias Selatan. Perkampungan yang dilewati tergambar jelas, hewan piaraan berkeliaran juga begitu. Rumah, sekolah, jalan dan jembatan ada yang masih utuh ada juga yang baru dibangun dari bantuan asing paska tsunami. Sampai pada Museum, kristen di Nias, tradisi peti mati tidak dikubur, bangunan rumah tradisional Nias.

Berikut “Orang-Orang Tiro”, “Menunggu Wali”, “Aceh dalam Sepiring Rujak”, “Perjalanan tentang Keberanian” bertutur tentang Aceh, dari orang Aceh sendiri. Semuanya mencoba menjabarkan kondisi perjuangan rakyat Aceh kepada Pusat. Untuk menyebut itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersemat pada pengikut Tengku Hasan Muhammad Ditiro. Tahun 1976 Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka. Setelah itu kemudian ia bermukim ke Swedia, berjuang dari sana. Sebelum deklarasi Helsinki tahun 2005, kontak senjata sering kali menghantui masyarakat Aceh. Semenjak perdaimaian ditanda tangani, kenangan itu masih terbayang. Pada Sarjani Abdullah, mantan Panglima GAM wilayah Pidie. Pada kerabat dekat Hasan Tiro, Mustofa dan istinya Juraiza. Pada adik perempuan Hasan Tiro, Aisyah binti Muhammad Hasan dan pada semua pejuang Aceh. Perjuangan Aceh kepada Pusat. Pusat dalam arti kultur Jawa penguasa. Kultur jawa yang digunakan pemerintah dulu hingga sekarang, terus membekas kuat, bahwa Jawa adalah penjajah setelah kemerdekaan. Ada harapan kondisi sejarah masa lalu itu kemudian terjawab, dengan membuka kembali perjalanan sejarah. Dulu kolonial menggempur Aceh memang menggunakan tentara orang Jawa. Dari karya pulau buru Pram setidaknya dapat dipahami itulah kelicikan kolonial, begitu juga pemerintah Indonesia seterusnya.

“Sebuah Bahasa, Sebuah Komunitas” menyoal sebuah bangsa, berangkat dari “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Ada butir redaksional dari sumpah pemuda saat ini, berbeda dengan yang dulu. Sumpah ketiga, “menunjung tinggi persatuan, bahasa Indonesia” menjadi “berbahasa satu, bahasa Indonesia”. Pada kalimat “berbangsa yang satu”, (kemudian diubah jadi “berbangsa satu”). Terlihat bahwa perubahan sekecilpun akan merubah makna arti dari sebuah bahasa. Lebih-lebih ini dilakukan oleh pemerintah rezim Orde Baru. Begitu kuat cengkraman kekuasaan yang dijalankan, agar bisa dirubah demi kekuasaan. Sampai sekarang, meski sudah merdeka semenjak 1945. Namun bagaimana sebuah bangsa bernama Indonesia itu terbentuk. “Ternyata bangsa Indonesia adalah komunitas khayal atau yang terbayang. Ternyata komunitas ini terbentuk oleh kesatuan” (hlm. 188). “Mengapa Saya Masih di Aceh?” ada banyak kenangan disana. Kepahlawanan Cut Nyak Dhien, Cut Meutiah, Malahayati menjadi contoh untuk generasi guna melanjutkan perjuangan. “…belum banyak yang telah saya lakukan di sini”, di Aceh.

Komentar