Pertanyaan Seputar Trikrotomi Geertz


SlideServe.com

Masyarakat Jawa populer dengan tiga kategori dalam menyebut struktur didalamnya. Penulis buku The Religion of Java (1960) Clifford Geertz, darinya Abangan, Santri dan Priyayi seolah ‘membeku’ sebagai struktur dalam masyarakat Jawa. Bagaimana ketiganya terketegorisasi dan mendamarkasi menurut Geertz sebagai struktur masyarakat Jawa.

Parsudi Suparlan dalam kata pengantar; Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Pustaka Jaya: 1981) menyatakan bahwa; “Geerts melihatnya sebagai suatu sistem sosial masyarakat Jawa (Mojokuto), dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agamanya yang singkretik. Abangan yang intinya berpusat di pedesaan, yang menekankan pentingnya aspek-aspek animistik. Santri yang intinya berpusat di tempat perdagangan dan pasar, yang menekankan aspek-aspek Islam. Priyayi yang intinya berpusat di kantor pemerintahan dan kota, yang menekankan aspek-aspek Hindu.” Pada akulturasi dan singkretik itulah menjadi titik tekan dalam pengkatagorian masyarakat Jawa dari Geertz.

Kategori Geertz tentang masyarakat Jawa yaitu Abangan, Santri, Priyayi semenjak kepopulerannya bukan tanpa kritik. Masih dalam kata pengantar yang sama, kritik dari Prof. Harsja W. Bachtiar, “istilah-istilah Abangan, Santri dan Priyayi untuk mengklafisikasikan masyarakat Jawa tidaklah tepat. Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyayi adalah suatu penggolongan sosial.”
Berangkat dari pendapat diatas, lebih dari cukup memberi alasan, bagaimana Geertz mengkatagorikan masyarakat Jawa tak serta merta pula menjadi jelas. Batasan masing-masing kelompok terasa cair.

Abangan terkatagori yang identik dengan masyarakat desa biasa, tidak berpendidikan formal seperti Priyayi, serta pengetahuan keagamaan yang biasa-biasa bila dibanding SantriAbangan, cenderung mempraktekkan adat kebiasaan nenek moyang, yang telah lebih dulu mengakar sebelum dakwah agama, terutama Islam ke tanah Jawa. Abangan kemudian lekat pada pelaku tradisi kultur kejawaan. (1) Apakah karena dari adat kebiasaanya saja yang menjadikan mereka sebagai Abangan?.

Santri tertuju pada kalangan pengamal Islam lebih di banding Abangan. Dengan itu juga, ilmu agama lebih condong unggul, bila dibandingkan dengan dua dari tiga kategori Geertz. Santri adalah ‘kalangan bersarung, berjubah, bersorban, bergelud dengan kitab kuning, kitab gundul (kehidupan dalam perantren)’ dan segala aktifitas yang menguat unsur keislamannya dan berdagang sebagai salah satu cara dalam menjalarkan dakwah Islam. (2) Apakah lingkup gerak Santri hanya terbatas pada pasar dan perdagangan semata? Sedangkan berdakwah tidak membatasi ruang selama tidak ada pemaksaan dalam keyakinan. Lalu, (3) bagaimana untuk menempatkan antara Abangan dan Santri, bukan semata lokal masalah pemahaman agama Islam yang menjadikan jarak keterpisahan antar keduanya?.

Beralih pada Priyayi sebagai kalangan terdidik, pegawai pemerintahan dan memiliki kedudukan dalam struktur. Adab dan sopan satun terjaga. Mengedepankan kedudukan sebagai orang yang terdidik, baik secara tradisi Jawa ataupun secara pendidikan formal. (4) Apakah Priyayi melulu bergerak linear? Jika dilihat sama pada pengkatagorian dari Abangan dan Santri, (5) Bagaimana kemudian Priyayi ditempatkan? (6) Apakah cenderung menjalankan tradisi Jawa atau ajaran agama Islam?

Bila melihat Priyayi berangkat dari pengkatagorian Abangan dan Santri. (7) Apakah tidak memungkinkan termasuk dari Abangan maupun SantriPriyayi berada? (8) Apakah Priyayi jelas terpisah diluar diantara perbedaan antara Abangan dan Santri? Lebih dari itu, Priyayi memiliki posisi dalam struktur pemerintahan, (9) apakah posisi demikian yang menjadikan Priyayi berdiri dalam struktur masyarakat Jawa, sedangkan Abangan dan Santri tidak? (10) Apakah priyayi sebagai posisi yang terberi dan secara turun temurun serta berasal dari trah keluarga priyayi semata?.

Abangan, Santri dan Priyayi kini, mampaknya berjalin dan berkelindan. Abangan yang dikategorikan pada kelompok masyarakat ‘buta’ agama, lebih cenderung mempraktekkan adat tradisi dan tinggal dipedesaan. Padahal kemajuan zaman menghendaki perubahan. Perubahan dalam pengetahuan maupun dalam kemengertian ajaran agama. Pendidikan agama telah banyak didirikan dan mengajarkan; baik sekolah formal, pondok pesantren, taman pendidikan al-Qur’an, buku-buku pengajaran agama, ulasan dan ceramah yang di-compact disc-kan. Kelompok Abangan yang di desa, kini juga sudah banyak melakukan migrasi, berpindah dan bertempat tinggal ke kota.

Kaum Santri yang mengarusutamakan perihal ketaatan dalam ibadah agama Islam, juga beragam varian. Varian dalam memahami dan mempraktekkan ajaran Islam itu sendiri. Beragam kelompok Islam muncul berbarengan dengan demokratisasi. Dalam menyampaikan pendapat, masing-masing mempunyai visi dan misi, untuk bagaimana nilai normatif maupun secara historis bisa diletakkan maupun dibakukan. Kalangan Santri ada juga yang terjun ke politik, membentuk partai dan membentuk kelompok pengajian tersendiri.

Para Priyayi yang duduk dalam struktur pemerintahan, pegawai negeri, jelasnya adalah bagian dari sistem, dalam perkembangannya berkolaborasi sebagai pengusaha sekaligus. Priyayi istilah lainnya adalah pegawai negeri. Apa yang ditugaskan kepadanya jelas, menerima gaji, di hari tua mendapat tunjangan pensiun, orang kantoran, terlibat dalam birokrasi dan prosedur. Semuanya tersistem sedemikian rupa. Pendidikan para Priyayi pun semakin beragam, tidak hanya di dalam negeri, tetapi ada juga keluar negeri.

Dengan kata lain, Abangan, Santri dan Priyayi dalam kekinian, lokal masing-masing telah tercerabut. Bahwa, masing-masing kategori bisa masuk dan menjadi bagian dari kategori lain dan akhirnya merubah dan menjadi kategori yang dimasukinya.


Komentar