Judul : Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis tentang
Manusia
Penulis : Fransiskus Borgias M
Penerbit : Jalasutra, 2013
Tebal : xvi 157
ISBN : 978-602-8252-82-9
Mencari jati diri manusia tidak akan pernah habis. Sudah
banyak tokoh mencoba mencari jawab siapa makhluk yang satu ini. Misalnya
seorang Aristoteles, menyebut manusia sebagai makhluk rasional karena kemampuan
kerja akal itulah yang membedakannya dengan adaan lain. Pada berbagai bidang
ilmu, pengandaian dasar atas manusia memiliki sebutan sendiri-sendiri. Ilmu
ekonomi menyebut bahwa manusia sebagai
homo oeconomicus.
Lain lagi perspektif politik, hukum, sosiologi,
antropologi, dan sebagainya. Dengan begitu, untuk menyebut bahwa manusia
makhluk berpikir atau homo
oecocomicus atau zoon politicon atau homo
ludens atau homo religius saja, akan mereduksi seluruh kehadiran
manusia. Sebagai eksisten sosial yang menyejarah dan begitu kompleks,
pengandaian dasar manusia hanya menyebut sebagian sudutnya.
Begitu kompleks seluk-beluk manusia, namun bila semakin
banyak pengandaian dasar yang muncul, tambah banyak pengetahuan untuk
menggambarkan manusia. Lamalama akan ditemukan jawaban yang mendekati
menyeluruh atau komprehensif. Untuk mencapainya, butuh kemampuan segala
potensi, waktu dan paling tidak merefleksi secara filosofis.
Buku karya Fransiskus Borgias M, Manusia Pengembara: Refleksi Filosofis
tentang Manusia, sebuah potret pencarian tanpa henti manusia tentang dirinya.
Ada tujuh pokok bahasan, yakni mengenai bahasa dan realitas sosial, kerja,
manusia dan waktu, manusia subjek kehendak, filsafat kerinduan, yang mistik dan
paralelisme batin. Berangkat dari perspektif antropologi filsafat, dari
pengalaman pribadi, dalam relung religiositas Kristiani, tulisan mengalir
secara re ektif mendalam. Dalam mengungkapkan sesuatu, tidak lain manusia
menggunakan bahasa yang boleh dikatakan sebagai fenomena kelakuan yang sangat
khas manusia, (hlm 8).
Manusia berkomunikasi dan interaksi tak dapat berjalan
lancar tanpa menggunakan bahasa. Memang bahasa itu sendiri tidak mampu
menghadirkan kenyataan sepenuhnya dari realitas, namun dengan bahasa pula
realitas keseharian dapat berjalan. Dalam praktiknya, bahasa pun bertemali
dengan realitas sosial. Bahkan, bahasa mampu mengantarkan pada perubahan
sosial. Sekalipun juga dengan bahasa pula, manusia tiada mampu berkutik bebas
karena bahasa mampu membelenggu kehidupan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia harus bekerja.
Namun kini, tidak sedikit orang mempekerjakan dirinya sendiri, dalam artian
manusia seperti mesin yang mekanistik. Padahal, bekerja secara manusiawi
berarti memperhitungkan martabat sebagai “faktor” paling fundamental, (hlm.
37). Banyak orang memburu lebih pemenuhan hidup. Kebutuhan hiburan, harta,
jabatan tiba gilirannya tersandera kehendaknya sendiri. Manusia telah
¡§diperbudak¡¨ kehendaknya sendiri dan terkungkung hasrat modernitas. Invansi
iklan yang menawarkan segala kebutuhan, menjadikan manusia terasing dari
kehidupan dunianya.
Dia menurut kata iklan karena di sana dia mengada.
Dorongan individu untuk mencapai kebutuhan bendawi yang tiada batas, barangkali
terangkum dalam ungkapan time is money. Karena itu, manusia dalam mengarungi
dan mengalami sejarahnya, sampai jatuh pada belenggu dasar persepsi tentang
sejarah, yakni belenggu dalam rantai rotasi dan repetisi (persepsi siklis),
secara ekstrem ke dalam satu dimensi masa depan (persepsi linear) dan kon-flik
atau persepsi spiral, (hlm 70-71). Refleksi tentang manusia sebagai pengembara,
selanjutnya beranjak pada sesuatu yang imaterial, yakni tentang kerinduan,
pengalaman yang mistik dan pertautan batin.
Secara refektif ketiganyaterpapar pada tiga bab akhir.
Refleksi kehadiran manusia, sebagai pembaca, tidak terbebani keduniawian
sekaligus juga tidak menaifkan soal keakhiratan. Buku ini juga menawarkan waktu
senggang, rehat dari aktivitas keseharian, menunda barang sesaat, memikirkan
ulang, sampai pada pengekakangan hawa nafsu dengan puasa atau mati raga. Buku
ini memang kental pengalaman (subjek) yang bersinggungan, dari pembacaan
filosofis, dalam relung keagamaan Kristiani penulis, namun tidak
mengurui.
Itu sebabnya, sekalipun dalam wilayah iman yang berbeda,
namun dalam dimensi tertentu kadang terasa pernah mengalami hal sejenis dan
merasakan hal serupa karena samasama manusia.
*nangkring di Koran Jakarta, Jum'at 05 Juli 2013
trima kasih atas resensi yg menarik ini....
BalasHapusbanyak belajar juga dari karya bapak ini...
Hapus