Ora et Labora: Berdo’a dan Bekerja. Begitulah yang
terpatri kuat dan yang dijalankan oleh para pertapa (rahib) di Pertapaan Santa
Maria Rawaseneng, 14 Km dari kota Temanggung, Jawa Tengah. Pertengan Desember
ini, tepatnya tanggal 13/12, kami satu rombongan (15 orang) berkunjung kesana.
Kami kesana, untuk menengok langsung bagaimana kehidupan para rahib yang
berjumlah 35 orang itu, dalam kesehariannya. Yogyakarta-Temanggung, 2 jam labih
kami tempuh. Melewati jalan yang tak terlalu berliku tajam, tapi naik-turun
menelusuri kawasan dekat pegunungan di Temanggung dengan pemandangannya,
akhirnya kami sampai juga. Kami disambut dengan hawa sejuk dan suasana yang terasa
damai Rawaseneng. Meski ketika datang, waktu menunjukkan pukul sekitar 11.35
WIB siang yang cerah, bersamaan waktu Dzuhur datang, hawa dan suasana itu tak
pergi ke mana.
Sebelum menuju ke Rawaseneng, kami
dihampirkan lebih dulu ke Gereja St. Petrus & Paulus Temanggung. Bila
menengok peristiwa lampau, 08 Februari 2011, Gereja di Jl. Jendral Sudirman
yang kita hampiri inilah, dulu, yang di rusak oleh massa, buntut dari
persidangan kasus “Antonius Richmond Bawengan, seorang Kristen Protestan yang
didakwa melakukan penodaan agama”, seperti yang diberitakan banyak media.
Setelah mobil yang kami kendarai
terparkir, kami turun dan disambut Romo San. Setelah itu kami dipersilahkan
masuk ke ruang yang telah disediakan. Kursi berjajar rapi, sudah pula tersaji
jajanan pasar, buah dan minuman gelas diatas meja. “Monggo-monggo,
minum-minum dulu”, begitu Romo San mempersilahkan kami duduk, serta
mempersilahkan kami pula untuk menikmati makanan dan minum yang telah disediakan.
Memang, “hidup itu Cuma mampir ngombe”, juga makan.
Kami yang gumunan juga
dipersilahkan untuk melihat-lihat ke dalam Gereja. “Mau lihat-lihat ke dalam Gereja,
silahkan! bebas disini.” Sudah kalau Romo San berkata begitu, satu dua dan
seterusnya dari kami bergeras masuk semua ke dalam Gereja. Ornamen-ornamen di
dalam Gereja, cukup banyak yang kami perlu tahu. Tapi tak banyak yang kami
tanyakan ke Romo San. Lebih banyak malah manggut-manggut sendiri, sambil
nunjuk-nunjuk kesana-kemari, seolah ngerti dari sananya. Ya,
paling tidak, ini jadi sebuah pengalaman, menengok langsung tempat ibadah umat
Katolik, duduk-duduk, memperhatikan sekeliling yang ada, dan seperti jadi
latah, kalau kamera yang ditenteng, sayang jika tidak di tekan, klik!
[alih-alih sekedar untuk dokumentasi, padahal narsis juga ternyata].
Setelah dirasa cukup makan dan minum,
melihat-lihat Gereja St. Petrus & Paulus Temanggung, dan sebentar pula
percakapan diantara kami berlangsung, perjalanan kami lanjutkan ke Rawaseneng.
Sekitar 20 menit lebih, kami tiba dipelataran parkir Rawaseneng, yang
bersebelahan dengan Museum merangkap sebagai toko yang salah satunya menjual
hasil dari kebun kopi dan dari peternakan sapi berupa susu, kue dan roti.
Lalu, kami berjalan kaki turun ke bawah,
menuju lokasi Pertapaan. Kami sudah disambut oleh salah seorang disana.
“Selamat datang... mari... mari, silahkan... ”, katanya. Kami, lagi-lagi
dipersilahkan masuk ke ruang makan. Mau membuat kopi atawa teh, disilahkan sedu
sendiri-sendiri sesuai selera. Roti hasil tangan para rahib pun terhidang
disana. “Silahkan dinikmati... seadanya”, kata bapak yang menyajikan makanan
untuk kami itu.
Lokasi Pertapaan Rawaseneng jangan
dibayangkan berada dalam Goa, atau tempat yang dianggap mistis lainnya, tidak.
Malah tidak ada itu Goa disana. Bangunan yang ada seperti bangunan Gereja pada
umumnya, wisma-wisma, ruang makan, ruang pertemuan, kapel, yang berdinding
tembok dan beratap genting. Dikatakan “Pertapaan” Rawaseneng karena disana
tempat Ordo Cisterciensis Strictioris Observantie (OCSO), yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi: Ordo Cisterciensis Observansi Ketat, atau bisa
disapa tempat bagi Ordo Trappist hidup, dengan menjalani kehidupan monastik
(kerahiban).
Selesai urusan di ruang makan, datang
“Rahib kecil” Antonius. “Selamat Datang... Selamat Datang... ”, ucapnya, sambil
mengulurkan tangan dan berjabatan tangan kami satu persatu dengannya. Fr.
Antonius Anjar Daniadi, OCSO (Ordo Cisterciensis Strictioris Observantie) nama
lengkapnya, adalah salah satu rahib disana. Ia sudah hidup di Pertapaan Santa
Maria Rawaseneng sejak tahun 2003 lalu. Dari pakaian yang ia kenakan, sudah
mengundang tanya. Sambil menyilahkan kami untuk mengikutinya, berjalan melewati
teras samping Gereja St. Maria, yang disebelah kanan pintu masuk Gereja ada
taman kecil, berdiri patung St. Benedict, kami terus berjalan menuju ruang
pertemuan bagi para tamu yang berkunjung kesana. Dan semacam “presentasi” berlangsung
di ruang pertemuan itu. Dengan pembawaan santai lagi ramah, Fr. Antonius
menjelaskan kepada kami yang Muslim seputar Pertapaan Santai Maria Rawaseneng:
Cikal-bakal Pertapaan Rawaseneng dimulai
pada tahun 1936, dengan berdirinya Sekolah Pertanian yang dikelola para bruder
Budi Mulia. Namun, pada tahun 1948, sekolah itu dibumihanguskan karena perang.
Tahun 1950, Rm. Bavo van der Ham, dari biara Koningshoeven-Tilburg, Belanda, memulai
proses awal fundasi. Baru pada tanggal 1 April 1953, kehidupan Pertapaan
Trappist Rawaseneng resmi dimulai.
Cita-cita kontemplatif [kami]…mencari
Allah dalam “kerasulan tersembunyi”, hidup dalam persaudaraan, askesis
(matiraga) monastik, berdoa tanpa kunjung henti (ofisi & pribadi), kerja
tangan.
Begitu sekilas slide show paparan
dari Fr. Antonius. Kehidupan para rahib disana memang hanya berkutat pada dua
hal saja: Berdo’a dan Bekerja. Untuk berdo’a berlangsung selama 7 kali tiap
harinya, mulai dari Ibadat Biasa pukul 03:30 pagi dini hari sampai Ibadah
Penutup pukul 19:45 malam. Ini semua dilangsungkan “untuk menjaga ingatan Kami
[para rahib] kepada Allah”, kata Fr. Antonius yang sudah menempuh Kaul
Pertamanya tahun 2006 itu. Sedangkan waktu bekerja, dilakukan diluar jam
ibadat, menjelang siang dan menjelang sore. Kerja tangan para Rahib disini
bukan dalam arti untuk mendatangkan dan mendapatkan profit, bukan, bukan untuk
maksud itu, tapi semata-mata guna memenuhi kebutuhan hidup para Rahib yang
hidup “terpisah dari luar” itu, jadi apa-apa harus mereka penuhi sendiri, secara
mandiri.
Dengan kerja tangan untuk menafkahi
sendiri hidup para rahib, yaitu dengan mengelola peternakan sapi dan perkebunan
kopi. Dengan adanya ternak sapi dan kebun kopi ini, Pertapaan Rawaseneng secara
langsung berkontribusi bagi masyarakat sekitar, berupa lapangan pekerjaan dari
adanya kebun kopi dan ternak sapi, dan hasil yang diperolah dari peternakan
sapi dan perkebunan kopi pun juga dibagikan ke masyarakat.
Kehidupan para rahib yang “terpisah dari
luar” itu maksudnya: hidup jauh dari keramaian, dan sekaligus juga membatasi
komunikasi dari kehidupan luar. Semangat kerahiban demi memberikan kesaksian
hidup seumur hidup, para rahib lakoni dengan laku kontemplatif, dalam
kesunyian; dengan laku tapa (matiraga), dan terus selalu berdo’a tanpa kunjung
henti dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pertapaan Sawaneng ini juga
tidak punya karya, dalam arti, tidak memiliki fasilitas kesehatan ataupun
pendidikan.
Hubungan dengan yang lain mereka batasi,
atau tahu dimana batasnya. Selain itu, Pertapaan Sawaneng juga tidak melayani
umat. Jadi, hanya 35 Rahib itu saja yang hidup disana, mereka bersama sebagai
sebuah keluarga. Meskipun demikian, mereka tidak menutup diri, tetap terbuka
untuk umum, seperti saat kami ini yang Muslim berkunjung kesana. “Mandiri, tahu
batas, bersama sebagai sebuah kelurga, selalu menjaga akan Allah dan terus
mendekatkan diri kepada Allah”, inilah itu keadaan dalam praktiknya laku hidup
para rahib.
Kami hidup bersama sebagai keluarga,
dipimpin seorang Bapa Rohani (yang disebut “Abas”: Rm. Frans
Harjawiyata OCSO Abas Pertama 1978, Rm. Aloysius Gonzaga
OCSO Abas Kedua 2006-kini). Meski “meninggalkan dunia”, rahib
tidak sendiri. Kami berjalan bersama, berdoa, bekerja, belajar, dan bertobat
bersama. Karena melalui PENGALAMAN hidup bersama, kami belajar untuk mencintai
dan hidup sebagai rahib sejati... Meski terpisah dari
dunia, kami tetap PEDULI dan PEKA terhadap situasi umat manusia
pada umumnya... Hidup sederhana dengan cara yang serba biasa, para
rahib memilih sebuah jalan hidup yang diatur oleh peraturan Santo
Benediktus.
Ya, cara hidup para rahib di Pertapaan
Rawaseneng, seperti yang tampil (Slide Show) diatas barusan, merujuk
pada tokoh yang disebut terakhir: St. Benedict (480-547). Benedict yang hidup
di Italia abad ke-5 itu, dari sepenggal sejarahnya: meninggalkan pendidikannya
di Roma, kemudian menjalani laku hidup dalam tradisi kehidupan monastik dan
yang seterusnya menjadi landasan tata kehidupan Ordo Trappist. Secara visual,
oleh Fr. Antonius, kami diputarkan film yang berjudul Of Gods and Men.
“Film ini, cukup memberi contoh gambaran
kehidupan para rahib Ordo Trappist”, lanjut kata rahib yang telah Kaul Agung
pada akhir tahun 2009 lalu itu. Dari film itu digambarkan bagaimana Orde
Trappist hidup dalam balutan tradisi kehidupan monastik (kerahiban), dan
bagaimana Orde Trappist juga menekankan kerja tangan. Meski hidup terpisah dari
dunia nan gemerlap diluar sana, mereka tetap berinteraksi dengan sesama. Dari
sisi kekhasannya, menurut Jean Leclercq, OSB, Kekhasan Teologi
Monastik itu:
1. Rendah
hati dan sederhana dalam berpikir; 2. Berprinsip pada credo ut experiar (percaya
supaya dapat mengalami); 3. Fokus pada learning by heart.
Sampai akhir di ruang pertemuan itu,
Fr. Antonius kemudian mengiyakan keinginan kami untuk melihat-lihat
kompleks Pertapaan dengan luas tanah 178 ha (milik pemerintah). Dipandu sang
rahib, kami diajak-ajaknya jalan-jalan, mulai dari wisma-wisma yang ada bagi
tamu untuk menginap, melewati selasar-selasar kamar-kamar, kapel, sejenak photo
dibawah patung Yesus Kristus yang ada dibelakang halaman wisma, lanjut menuju
ke dalam Gereja St. Maria, sampai kami dibawa turun ke kandang sapi yang mampu
menghasilkan 400-500 liter/hari itu, lalu ke tempat peristirahatan kubur para
rahib dan berakhir naik lagi ke lapangan parkir depan museum tempat mobil kami
terparkir.
Tak lama setelah melihat-lihat dalam
Museum, kami pun berpamitan, “Terima kasih Frater... , sudah menyambut kunjungan
kami... memberi banyak penjelasan dari awal sampai mengantarkan kami sampai
kemari...., dan mohon maaf sudah merepotkan”, kata salah seorang dari kami
mengakhiri kunjungan di Pertapaan Rawaseneng. “Ya sama-sama..., kami senang...
bila ada yang berkunjung ke Pertapaan kami..”, Frater Antonius menjawab dengan
senyum ramahnya. “Sekali lagi terima kasih banyak Frater...”, “Ya sama-sama...,
terima kasih” kami dan Frater saling bersahutan. Kami pungkasi dengan
berjabat-tangan, bersalaman, pamit, terus melanjutkan perjalanan.
Perjalanan kembali siang itu, sekitar
pukul 13.35, menuju ke Gereja St. Petrus & Paulus Temanggung, untuk
makan siang disana. Setelah selesai makan siang, obrolan santai kami lanjutkan,
soal hubungan (kilas balik) antar umat beragama di Temanggung, seperti sekilas
dikatakan diatas. Dan selesai obrolan itu kami akhiri dengan photo bersama, dan
kami pamit pulang.
Komentar
Posting Komentar