Data Buku
Penulis: M. Dawam Rahardjo
Judul: Pembangunan Pascamodernis Esai-Esai
Ekomoni Politik
Penerbit: INSIST Press, 2012
Tebal: xxi + 182 halaman
ISBN: 978-602-8384-50-6
Membayangkan kemandirian ekonomi Indonesia,
layaknya membayangkan masa depan pasar tradisional. Derap modernisasi, menghendaki
keberadaan pasar tradisional kian untuk ditinggalkan, dilupakan, sampai suatu saat nanti layak untuk ‘dimusiumkan’. Terlihat
laju perkembangan pasar modern jauh lebih pesat, dibandingkan pasar
trasidional. Kadang malah berdampingan. Kesan yang terbangun pun berbeda, yang
satu bersih, bermandikan cahaya dan berpendingin udara, yang satunya lagi,
kumuh, bermandikan peluh keringat dan pengap. Bukan tawar menawar yang terjadi,
tetapi sejauh mana utilitas hasrat berbelanja termanifestasi. Pasar tradisional
sebagai arena gerak akar rumput dalam memenuhi hal ihwal urusan rumah tangga,
kian ‘diambang batas kemusnahan’, akibat laju developmentalisme, patut menjadi perhatian.
Pada tahun 1949, saat Presiden Harry
S. Truman mengumumkan diskursus developmentalisme
sebagai bahasa dan doktrin resmi kebijakan luar negeri AS. (Mansour Fakih,
2006: 200). Mulailah kerja developmentalisme
yang menitikberatkan pada usaha pengentasan persoalan ekonomi dalam negeri, serta
dari jerembab utang luar negeri. Berkaitan dengan usaha ini, dirumuskanlah
kebijakan-kebijakan kepada Negara-Negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia,
untuk menjalankan ‘perintah-perintah’ dari pihak pemberi utang, agar ekonomi
negara tersebut keluar dari krisis ekonomi. Perintah-perintah pihak pengutang,
sukses dijalankan oleh masa Orde Baru, sekaligus menjadi daya tahan (status quo) rezim berkuasa. Cara pandang
Negara Dunia Pertama terhadap ‘kelesuan’ ekonomi yang menerpa Negara Dunia
Ketiga, dinilai akibat dari gejolak masyarakat yang tradisional. Agar beranjak
kepada yang modern, pembangunan harus dilakukan.
Pembangunan sebagai rumusan jalan keluar
ekonomi yang ditawarkan, kentara terlihat sebagai penundukan kembali negara-negara
bekas jajahan. Penundukan bukan lagi secara fisik, tetapi secara ideologis, melalui
kekuasaan, ketergantungan ekonomi dan langkah demi langkah mengikuti anjuran
Bank Dunia, IMF, WTO, perusahaan/bank transnasional serta agen kapilatis yang
lain. Dengan kata lain, dari pembangunan terus berlanjut ke globalisasi. Selain
menancapkan dominasi asing di Indonesia dalam bentuk dana, developmentalisme adalah tameng menangkal kekuatan sosialis, pasca
perang dingin. Sembari terus mendorong laju Negara-Negara Dunia Ketiga melalui sektor
pembangunan, tirai penjajahan baru justru terlihat didalamnya. Kolonialis
format baru dalam bentuk utang luar negeri. Ketika rezim Orde Baru gencar
melanjarkan agenda pembangunanisme, justru kemalangan didapat semenjak bantuan
dana asing mulai beroperasi; peristiwa Malari, dan berdampak negatif;
kemiskinan kian menggelayut dipelosook negeri.
Gelombang krisis moneter 1997 berlanjut
dengan tumbangnya rezim. Lahirlah masa harapan baru; Reformasi. Reformasi 1998
satu sisi merupakan keberhasilan gerakan massa, memaksa
mundur sang Bapak Pembangunan. Pada sisi lain, ekonomi politik dalam negeri tak
serta merta beranjak keluar dari krisis. Akibat lanjut dari krisis adalah korupsi,
kolusi dan nepotisme menggerogoti dari pusat sampai daerah. Desentralisasi kekuasaan
memicu raja-jara kecil. Disintegrasi bangsa kian mengkhawatirkan. Basis ekonomi
yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 seperti menjadi hiasan dinding, dan
ditinggalkan. Justru, terlihat usaha menjalankan paradigma ekonomi bercorak neoliberalisme.
Geliat (neo)liberalisme sebenarnya sudah terlihat, semenjak pasal 33 UUD 1945
sebagai tulang punggung tegaknya ekonomi Indonesia, tak lantas menjadi punggawa.
Kemandirian ekonomi dijalankan justru menengok pihak asing, membuka investasi,
perdagangan bebas dan liberasi eksploitasi sumber daya alam kepada swasta
seraya terlibat aras perdagangan global. Apa yang dicitakan Bung Karno;
berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di
bidang kebudayaan, seolah menjadi angin lalu. Tiga prinsip berdaulat itu, kalah
oleh rayuan praktis Negara Dunia Pertama.
Hadirnya buku Pembangunan Pascamodernis karya M. Dawam Rahardjo, setidaknya membawa
hawa baru. Dalam buku ini, terpapar melacak kembali jalan dalam menatap
pembangunanisme, dalam ulasan Esai-Esai
Ekonomi Politik. Ada enam belas esai. Satu esai dengan esai lainnya menyusun bersambung,
meski tidak bersatu utuh, tetapi memiliki keterikatan dalam konteks pokok bahasan.
Secara
keseluruhan, buku
ini merunut praktik developmentalisme.
Mencakup aspek;
ontologis,
perekonomian Indonesia di awal perkembangannya; epistemologis, khususnya
paradigma pembangunan; dan aksiologis, terutama dampaknya terhadap perekonomian
Indonesia desawa ini. (hlm. xvii).
Menurut M. Dawam Rahardjo, untuk
melangkah kedepan, agar ekonomi Indonesia belajar mandiri dan
berdiri di kaki sendiri. Segera beranjak dari ekonomi modernisasi menuju
ekonomi pascamodernis. Dengan berciri pada; kembali pada cita-cita
Proklamasi yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 sebelum perubahan, membangun
kembali tradisi, desentralisasi dan pembangunan yang merata, membangun ekonomi
rakyat sebagai bentuk praktis dari fondasi pembangunan berbasis kerakyatan, dan
pembangunan sebagai gerakan rakyat. (hlm. 8-9). Bagian bab akhir dari esai
buku, didapati jalan, dalam bentuk rekayasa ulang manajemen pembangunan.
Jalannya adalah ekonomi kerakyatan. Suatu konsep strategi pembangunan dalam
konteks Indonesia. Inti dari konsep ini adalah pembangunan pedesaan dan
industrialisasi pedesaan dalam rangka pemberantasan kemiskinan melalui
penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan rakyat kecil. (hlm. 167).
Secara konsep seperti terumuskan diatas terpapar jelas, tetapi belum menyentuh
aspek operasional praksis untuk bagaimana ekonomi kerakyatan itu mewujud dalam
praktek ekonomi Indonesia.
Dalam realitasnya saat ini, menunjukkan
hal yang berbeda, ketika ingin ber-daulat dalam politik dan ber-ekonomi secara kerakyatan
dari pada pendahulu (founding fathers),
dalam prakteknya seperti adagium “besar pasak dari pada tiang”. Perjalanan ekonomi
Indonesia, kian bergerak mengikuti mekanisme pasar, peran negara
dikesampingkan. Kedaulatan atas bumi, tanah, air, energi dikelola perusahaan
asing. Rakyat
tak berkuasa ditanah air negeri sendiri, merana. Ekonomi kerakyatan, sejatinya menjadi
langkah nyata penyelenggara negara, bila memang benar-benar berpihak kepada
rakyat, tak semata hanya sebatas retorika politik belaka. Sudah seharusnya
Indonesia mandiri secara ekonomi. Merdeka dari belenggu pembangunanisme.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerimakasih telah mengulas buku INSISTPress. Rehal buku diarsip-dan-dilinkan di: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=5939&lang=id
BalasHapus