Retrospektif Gerakan

Sorotan yang dialamatkan pada gerakan mahasiswa akhir-akhir ini menarik diperbincangkan dikalangan mahasiswa itu sendiri ataupun oleh para penggiat kritik gerakan mahasiswa. Bisa jadi perbincangan itu adalah pembacaan mengapa gerakan mahasiswa tak urung jua menemukan momentum yang jelas untuk berpijak dan melangkah? ataukah sekedar untuk memotret posisi bagaimana kemudian mahasiswa itu berperan dan bergerak?. Di saat kondisi bangsa yang terselenggara secara koruptip, praktik politik transaksional, perlindungan hukum dan keamanan terkesan jelas mengamankan pemodal dibandingkan melindungi mereka yang dikatakan rakyat. Kehadiran gerakan dan mahasiswa sendiri mencoba untuk menyampaikan kondisi yang dimaksud dengan segala aktifitas gerakannya. Namun, nampaknya dalam perjalannya terkesan urakan, anarkis dan tak ideologis. Kenyataan ini terlihat dari paparan berita dan visualisasi media yang menempatkan aktifitas gerakan sebagai subjek good news.

Bila diamati dalam kesejarahannya gerakan pemuda-pelajar-mahasiswa memiliki karaktersitik yang korektif dan konfrontatif. Menemukan momentum pada kondisi politik dan ekonomi sesuai jaman, komunikatif pada tingkatan bawah, pemadaan antara gerakan dan penguasa, dan terakhir reformasi yang menumbangkan struktur kekuasaan. Pasca reformasi gerakan hadir seakan-akan sebagai praktik eksistensi. Gerakan menjadi cair, keberadaan gerakan seolah-olah ‘absurd’, ketika tak mampu menegasikan dan memotret apa dan siapa yang dilawan. Absurditas itu bisa jadi muncul ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggiring kearah instan dalam proses, komunikatif dalam kotak virtual. Politik kebudayaan tercebur dalam aktifitas hedonis-konsumeris-materialis, prakmatis dalam politik, neo-liberalisme dalam sistem ekonomi, silang-rengkarut dalam proses penegakan hukum, dekadensi moral dan desentralisasi praktik koruptif. Inilah komplikasi persoalan bangsa yang seharusnya mampu dikomunikasikan dan menjadi gerakan politik moral terutama bagi gerakan mahasiswa.

Pembacaan
Secara arah pemikiran gerakan mahasiswa menempatkan moral, intelektual, kritis-optimis, keberpihakan dan independensi sebagai basis untuk melangkah dan perjuangan. Selain juga, modal sosial menjadi prasyarat yang perlu juga untuk objektifikasi-praksis dalam memahami persoalan. Dalam masa waktu tertentu, tantangan yang dihadapi setiap generasi gerakan tentu berbeda-beda secara latar ideologis dan pembacaan terhadap latar ideologis menjadi acuan dalam melihat realitas serta bagaimana proses merubahnya.
Jika dasar analisis yang digunakan mengacu pada basis ekonomi yang menentukan realitas, maka suprastruktur itu menjadi penyebab dari kenyataan sosial. Sehingga upaya yang kemudian dilakukan adalah bagaimana basis ekonomi itu, tak hanya dikuasai oleh para pemilik alat-alat produksi, tetapi juga bisa dimiliki oleh semua orang. Dengan tak memenopoli kapital, serta pendapatan kaum pekerja tak dinilai hanya dari hasil kerjanya, tetapi juga beban dan biaya hidup dipenuhi. Dengan proses tanpa jenjang ini, kondisi masyarakat tak akan terjadi ketimpangan, tidak ada yang menintas dan ditindas, menguasai dan dikuasai.

Pada kacamata modernitas, proses yang menjadikan kenyataan seperti saat ini, ditengarai oleh tidak produktifnya kaum miskin-lemah dalam memenuhi kebutuhannya. Upaya untuk mengentaskannya dengan mendorong dari ketertinggalan dan peningkatan pendapatan, sebab yang menjadi persoalan adalah di kaum miskin-lemah itu sendiri. Pembacaan atas latar idologis kaum liberal ditandainya bahwa hanya dengan rasionalitas manusia itu mampu memenuhi kebutuhan dan hidup layak. Berpijak pada otonomi individu, kebebasan dan equality maka dengan sendirinya individu itu mampu berdiri menapaki hidup.

Bila kondisinya seperti itu, perlu adanya jalan lain untuk melampaui. Mengapa jalan lain perlu diupayakan?. Pertama, bahwa basis ekonomi, modernitas dan liberalism tak berubah, untuk saat ini hanya berganti baju, tetap saja latar idiologis itu bercokol sebagai penentu jalannya kehidupan. Kedua, reformasi hanya merubah bungkus semata (kejatuhan struktur kekuasaan), sedangkan secara isi, penguasa yang menjalankan sistem tetap saja menindas, dan sebagai panglima perangnya adalah pasar-neoliberalisme-. Kedua hal ini yang kurang ditangkap sekaligus juga tak di jalankan ketika gerakan reformasi itu bergulir dan sekaligus dengan sendirinya menjadi kabut reformasi. Kabut yang lain adalah reformasi menjadi perubahan yang pasif, artinya perubahan yang tidak bersifat mewujudkan, tak bersifat memperbaharui atau memperbaiki. Berbeda ketika, semangat reformasi itu adalah mewujudkan struktur dan sistem yang lain dari praktek yang selama ini berjalan. Maka, dengan begitu latar idologis pun akan berubah yang menentukan realitas kehidupan bangsa, dan disinilah retrospektif gerakan pertama itu dijalankan.

Dalam menghayati keberadaan diri dalam konteks gerakan pemuda-pelajar-mahasiswa, jarang juga tergapai spirit ketika membaca karya-karya para tokoh gerakan. Potret kehidupan yang coba ditangkap dalam karya tulis, secara metodologis tidak hadir dengan sendirinya. Menangkap realitas dalam pengungkapannya bersinggungan dengan eksperimen dan interpretatif, berhubungan dengan komunitas, juga terkait dengan simbol sebagai analogi dalam proses penyingkapannya. Dengan begitu, dalam penyingkapan realitas kehidupan tidak pernah netral, tetap saja ada keterlibatan subjek di dalamnya. Sebuah karya adalah hasil pengamatan subjektif sang penulis, meskipun demikian pengamatan itu adalah upaya gambaran objektif dari realitas yang digambaran oleh penulis kepada pembaca. Disinilah perlunya retrospektif yang kedua atas karya tokoh gerakan, dengan membaca diharapkan memberikan pengetahuan. Karya monumental dari para tokoh-tokoh gerakan paling tidak menggambarkan kehadiran diri dari tokoh itu sendiri, yang berjuang, berpihak dan emansipatoris. Dengan ini, retrospektif gerakan disini menjadi tantangan sekaligus jalan lain untuk mencoba keluar dari selubung kabut post-reformasi.

Absurditas Gerakan
Mengutif dari paparan Hikmat Budiman dalam menyelami apa yang terjadi dalam praktek gerakan di era kekinian. Gerakan perlawanan yang coba digulirkan dalam penyampaiannya bisa dengan bermacam cara, dan yang jamak adalah demonstrasi. “Demonstrasi jadi tampak seperti sebuah alternatif lain dari aktifitas rekreasi: peristiwa yang sangat menyenangkan sekaligus berpotensi mematikan seperti olahraga Bungee Jumping; atau kegembiraan yang sangat menegangkan seperti fasilitas rekreasi di Dunia Fantasi. Mereka seperti bergerak menembus masuk ke dalam sebuah dunia tempat ketegangan dan kegembiraan, ketabahan menghadapi ancaman maut dan hedonisme melebur membentuk satu heriosme baru sebagai sebuah fashion.” (Hikmat Budiman, 2008, hlm. 19).

Menilik pada paparan diatas, dapat dikatakan bersamaan antara gerak perlawanan dan gerak konstruksi kebudayaan yang terekspresikan lewat demonstrasi. Sama-sama bergerak pada aras perjuangan, tetapi latar idologis keduanya berlawanan berkelindan dalam praksisnya. Simbolisasi konstruksi kebudayaan itu menjadi wujud ekspresi dari keinginan untuk menyampaikan hasrat. Menjadi semakin ‘galau’, ketika sorotan media berusaha mengambil gambar, aktifitas ini menandai budaya masa telah menggelayut dalam gerakan.
Perihal penyampaian isu, kadang hal itu diangkat dari hasil analisis pada keterangan media massa dan elektronik. Keberhasilan untuk mengungkap persoalan yang coba disampaikan pada khayalan ramai diperbaharui dari informasi media, sekaligus juga menjadi penyokong untuk meluaskan isu. Gerakan-gerakan melalui dunia maya, menjadi arena baru untuk diorganisir. Pergeseran ini menjadi hal yang unik ketika gerakan mahasiswa dihadapkan pada kebudayaan yang pesat berkembang dan bergerak begitu cepat. Sepertinya tanpa kehadiran subjek individu pun, bila isu itu dikomunasikan dengan massif akan tergerak untuk bertindak dan seperti inilah absurditas gerakan nampak pada aktifitasnya.

Komentar