Selubung Kekerasan

Barangkali apa yang diungkapan oleh Mark Muller bahwa, bila hanya mengetahui satu agama, berarti belum sepenuhnya kita mengetahui agama itu sendiri, ada benarnya. Disini dituntut sebuah pemahaman yang radikal ketika memahami agama dalam arti yang sebenarnya. Kekerasan yang bersimbol agama adalah residu pemahaman yang parsial, terlebih lagi bila dihadapkan pada beragam tafsir atas normatif sebuah ajaran.

Sehingga yang terjadi pada dataran sosial, ketaksamaan pemahaman melahirkan sikap saling mencurgai bahkan menyalahkan dan berujung pada semacam penistaan. Kemajemukan sebuah masyarakat juga berpengaruh pada bagaimana ajaran yang disampaikan mampu dimaknai secara keseluruhan, tanpa mengurangi keuniversalan nilai-nilai Ilahi. Belum sampai pada semua agama dipahami, secara internal sendiri pun muncul berbedaan. Bahwa, bila sesuatu yang ada dalam agama salah satunya adalah sang penyampai risalah (Nabi) itu diusik, para jamaah/pengikut pun berontak, demi menegakkan kebenaran, karena hal ini adalah buah dari keyakinan dan tidak ada tawar-menawar.

Kekerasan yang bersimbol agama ditengarahi sebagai akibat munculnya gerakan radikal, dalam arti negatif dan sempit. Disini, ajaran agama ”diperalat” sebagai dasar gerak untuk memenuhi, memperoleh dan menguasai apa-apa yang diaggap oleh yang berkepentingan untuk diraih. Meski jalan untuk memenuhinya menafikan kemusiaan. Sehingga kekerasan fisik yang sudah menjadi kenyataan tak dapat dielak yang mewarnai kejadian yang telah berlalu akhir-akhir ini, yaitu penyerangan pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, kerusuhan di Temanggung, pembakaran pesantren, madrasah, musholla dan rumah tokoh Syiah, Tajul Muluk terjadi pada Kamis 29 Desember 2011. Kejadian-kejadian ini seperti menjustifikasi bahwa, agama kerap dianggap sebagai pemicu konflik. Padahal bila menengok pada ajaran normatif masing-masing agama, justifikasi tersebut runtuh dengan sendirinya. Persoalannya bukan terletak pada agama itu sendiri, tetapi pada bagaimana setiap individu menghayati ajaran yang mewujud dalam sikap dan perilaku. Sayangnya wujud sikap dan perilaku sering berbalut dengan kepentingan lain, baik itu dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup maupun memenuhi hasrat manusiawi. Kenyataan yang terakhir ini yang kemudian, seola-olah kekerasan yang bersimbol agama, benar adanya.

Terjadinya suatu kekerasan tidak mungkin muncul dengan sendirinya, ada bermacam sebab yang melatar belakanginya. Sebab itu yang kemudian saling mengait dan menggerakan tiap individu, berkelompok, untuk mengaktualisasikannya dalam sebuah tindakan aksi. Bila menelisik jauh kedalam, sebab-sebab itu bercaman bentuk. Kemiskinanan, ketidakadilan, ketimpangan distribusi ekonomi, kepentingan adalah sekian dari bermacam bentuk yang menyelubungi kekerasan itu muncul. Yang disebut kepentingan ini yang mungkin sedikit mendominasi tiap aksi kekerasan. Baik itu kepentingan kelompok, penguasa atau diluar itu. Bila menelusirinya lagi kepentingan penguasa dengan mudah dapat kita ketahui, yaitu menggeser isu yang lebih besar kepada persoalan baru, agar isu yang kemudian muncul belakangan perlu dicari jalan penyelesaiaan. Toh nyatanya semua berujung pada ketidaktuntasan dalam menyelesaikan berlandas sebagai negara hukum. Kebebasan mengeluarkan pendapat di alam demokrasi, kebebasan berkeyakinan, bahwa hajat hidup orang banyak, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi bulan-bulanan aksi kekerasan. Itulah selubung kekerasan yang kerap terjadi, dimana pemangku kebijakan abai ditengah kondisi sebagian besar rakyatnya tak menentu dalam menapaki tiap sendi kehidupun.

Sekiranya perlu untuk merujuk kembali pada ajaran normatif sebagai jalan hidup. Sehingga bagaimana perlukan dan bersikap pada orang yang berbeda keyakinan, mampu dipahami secara radikal. Dengan begitu, ada dialektika yang menuntun penganut untuk menebarkan rahmat bagi sekalian alam mampu mewujud sikap dan perilaku. Mungkin hal ini sebuah ungkapan klise dan tidak mudah dilakukan maupun diupayakan, tetapi selalu berusaha tidak ada salahnya.

Komentar