Festivus Imlek

Sebagai homo festivus untuk menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sering mengadakan festival (Komaruddin Hidayat; 2003. 29), pada prakteknya berbalut budaya perkembangan zaman. Sembari menjalankan dalam kerangka ritus keagamaan berlangsung adat kebiasaan menambah semarak sebuah festivus. Tahun baru Imlek bagi orang Tionghoa menjadi ruang introspeksi, puji syukur kepada Thien (Tuhan) setelah melawati tahun untuk lebih baik ditahun depan. Harapan pada tahun 2563 kalender Tionghoa coba diwujudkan dalam rangkaian perayaan. Perayaan Imlek sendiri tidak lepas dari dominaasi warna merah, kembang api, angpao, barongsai dan sembahyang di klenteng.

Patut berbangga dan berterima kasih atas pencabutan Intruksi Presiden No. 14/1967 pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Setelah itu, berlanjut pada pemerintahan Presiden Megawati Sorkarno Putri mengeluarkan Keppres No 19/2002, yang pokok isinya adalah Imlek sebagai hari libur nasional. Setelah peraturan ini bertetapkan, perayaan Imlek dapat berlaku umum bagi orang Tionghoa dan pengikut ajaran Khonghucu. Setelah sekian tahun dikekang oleh rezim Soeharto, akhirnya kebebasan bagi eksistensi entis China dan agama Khonghucu di Indonesia dapat dirasakan.

Antusiasme warga yang merayakan dapat terlihat dari kegiatan lain sebagai penyemarak pelaksanaan Imlek. Tak ketinggalan di pusat perbelanjaan pun nuansa Imlek dijadiakan modus operandi penjualan, agar supaya menarik konsumen untuk berbelanja. Hiasan di tempat-tempat umum lainnya pun sama, sebagai warna untuk sekedar dekorasi ruang sampai pada keikutsertaan perayaan Imlek. Imlek bagi sebagian orang akan terasa sebagaimana perayaan hari raya dari kepercayaan masing-masing. Di agama Islam ada hari raya Idul Fitri, Idul Adha. Katolik dan Kristen Protestan perayaan Natal. Hindu perayaan Nyepi dan Budha perayaan Waisak.
Perayaan dalam agama menandai bahwa penganut tidak sekedar menjalankan ritus peribadatan an sich. Ada bentuk kegemaran sebagai aktifitas kebersamaan manusia yang berkelompok, sebab festivus mengikutsertakan banyak orang. Dalam perkembangan saat ini, menjelang hari-hari besar keagamaan, persiapan telah lebih dulu dilakukan. Kebutuhan-kebutuhan dipenuhi agar ketika menjalankan terasa khitmat. Namun kegemaran dalam rangka melaksanakan perayaan kadang lebih dominan persiapannya dan merayaan itu sendiri di bandingkan dengan inti dari perayaan. Di setiap tahun perayaan Imlek maupun hari besar agama lainnya, panjatan do’a selalu mengiri dalam perayaan. Itulah tujuan dari setiap perayaan, tujuan itu yang seharusnya menjadi orientasi persiapan, sehingga makna peribadan dalam perayaan terasa jelas dijalankan.

Sebagai manusia yang sering mengadakan festival, setiap waktu dalam setahun pasti merayakan perayaan hari suci bagi masing-masing agama. Sekiranya perlu melihat lebih dalam makna dari setiap perayaan, bukan sekedar menjalankannya saja, namun tujuan dari perayaan mampu terjelaskan dalam praktek. Berbalut dalam perayaan, konsumerisme dan pemaksaan secara halus tambahan kebutuhan dalam merayakan perlu ditelusi lebih lanjut. Meski tidak selamanya sadar pada kondisi dan konstruksi budaya, festivus menjadi ajang dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Ekspresi festivus Imlek pun demikian. Harapan agar kehidupan lebih baik semoga menyertai, seraya menapaki hidup dalam kehidupan dan kebahagian rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Komentar