Identitas dalam Ragam Kuliner

Setiap hari kabutuhan untuk makan, minum pastinya selalu menjadi agenda wajib untuk dilaksanakan. Jelas saja manusiawi, tubuh memerlukan asupan agar tetap berlangsung sistem kerja biologis seluruh fungsi badaniyah. Sajian makanan selalu menarik untuk sekedar dicicipi ataupun memakannya secara langsung. Makanya tak heran, acara televisi begitu beragam menayangkan acara kuliner. Dari pagi hari sampai sore, lebih dari sekali program televisi mengisi dengan sajian kuliner dari ujung negeri sampai mancanegara. Untuk sekedar disajikan sehari-hari ala kadarnya sampai pada khas ekslusif. Dari bumbu rempah asli nusantara sampai import sekalipun dapat diketemukan, tinggal pilih. Inilah sajian hari ini, silahkan dinikmati.

Begitu nikmat, enak, menggiurkan lidah dan sedikit memaksa untuk mencobanya. Dengan ragam bumbu, tampilan menarik, racikan bahan serta di cap memiliki cita rasa tinggi menjadi daya tawar setiap kali sajian dihidangkan. Pada akhirnya, kepuasa terlihat jelas pada si penyantap masakan, mak nyus. Lebih lanjut kesan mak nyus ini yang sulit untuk ditelusuri bagimana rasanya. Namun dari beragam kesan itulah makanan tak sekedar lagi sebagai kebutuhan hidup, tetapi menjadi semacam pengkondisian tunduk pada urusan perut dan identitas.

Pada masyarakat Jawa ada adagium tradisi, mangan ora mangan kumpul. Berkumpul lebih diutamakan meski tidak ada barang sesuap pun untuk dimakan. Berkumpul menjadi ajang menyelesaikan urusan perut. Kendati tradisi ini tidaklah selalu terpatok pada urusan makan, sebab ada unsur dalam kehidupan bahwa solidaritas dalam keluarga menjadi pemersatu dalam sistem lingkup terkecil. Selain menjadi elemen dalam sistem, penerimaan keadaan tak serta mesta menjadikan antar sesama terpisah jauh. Cukup disekeliling, tidak perlu pindah tempat jauh. Dalam prosesnya penyebaran manusia dalam lingkup wilayah, banyak berkutat pada sekitar tempat tinggal. Malah dapat diketemukan, satu kampung masih terdapat garis keturunan atau kekeluargaan yang sama. Menyadari kondisi kebutuhan yang tak tentu, makan tidak makan menjadi tidak begitu penting, justru berkumpul bisa jadi menjadi jalan keluar untuk bisa makan. Adagium diatas, terkesan tidak menjadikan urusan perut begitu runyam dan adanya apa atau tidaknya makanan bukan menjadi unsur kehadiran.

Hadirnya ragam kuliner dewasa ini, seraya tetap menyajikan makanan seperti yang biasa dimakan, ada proses penandaan disana. Bukan lagi sekedar untuk memuaskan rasa lapar, namun ada kemasan identitas. Dari semua sajian makanan tidak semua orang mampu memenuhi hasrat untuk memakannya. Kalaupun dapat, ia mungkin akan berkata lain dari biasanya, lidah tidak mampu bertindak sebagaimana yang biasanya menyantapnya. Proses memasak dihadirkan juga sebagai mendukung kemasan identitas. Seorang cheef dan ahli icip-icip, melalui ekspresi kesan yang sampaikan menghadirkan bahwa makanan ini-itu sungguh memberikan pengalaman tersendiri, berarti pula sebagai pembentuk individu si pemakan.

Selera makan pun coba dibentuk sesuai dengan gaya hidup. Tidak asal makan makanan, dan bukan sekedar apa yang dimakan, tetapi ketika memakan makanan ini-itu apa yang didapat tersemat pada diri. Dengan begitu identitas juga ada pada makanan yang ia konsumsi. Sama-sama ayam, tetapi kalau dikemas dengan label KFC, tentu akan lain dengan ayam yang ada di angkringan, warteg, pasar dan tempat lainnya. Sajian apa yang dimakan dan makanan itu sendiri tidak lagi sebagai kebutuhan hidup, saat ini coba dijadikan sebagai penyumbang identitas. Ragam kuliner yang tersaji tidak hanya sekedar menawarkan kenikmatan makanan, namun telah bergulat dengan budaya kekinian, agar tidak asing serta mampu hadir dalam kosmologi kemodernan.

Selamat menikmati sajian hari ini. []

Komentar