Sains dan Teknologi Dewasa Ini

Untuk menelusuri perkembangan sains dan teknologi sering kali beranjak pada masa Peradaban Barat. Jika sebelumnya di Eropa pada abad pertengahan (600-1400), dimana faktor iman dan kepatuhan kepada otoritas gereja menjadi ujung dari segala tindakan manusia termasuk dalam cara berpikir berpijak pada gaya Gereja. Kendati perkembagan sains mulai muncul-ala barat-namun ketika hal itu bertentangan dengan otoritas gereja, tidak mungkin akan dibenarkan. Kemudian disusul masa Rennaisance (1350-1600), atau Pencerahan yaitu segala usaha manusia untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Upaya pembebasan ini dengan menggunakan kemampuannya sendiri, yaitu rasionya. (F. Budi Hardiman; 2009. 51). Lewat rasio, manusia keluar dari dogmatisasi dan menjadikannnya sebagai sosok yang merdeka, bebas dari keterkungkungan.


Aufklarung, zaman dimana manusia menghinggap dalam optimisme. Bahwa ia dapat mengatasi segala yang membelenggu dirinya, termasuk ketakutan dan kekhawatiranya (Sindhunata; 2010. 6), hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20, dengan kondisi itu maka Barat keluar sebagai peradaban modern saat ini.


Padahal peradaban Barat, tidak bisa meninggalkan sumbangan Islam kepada sains dan peradaban. A.I. Sabra mengungkapkan bahwa, sarjana Islam pada abad ke-8 dan ke-9 mencari, menguasai dan akhirnya melampaui tradisi-tradisi sains kuno dengan konstruksi kebudayaan Islam itu sendiri. Dengan demikian mereka berhasil dalam memulai tradisi ilmiah yang mendominasi budaya intelektual sebagian besar dunia dalam jangka waktu abad ke-8 hingga abad ke-14. (dalam Husain Heriyanto; 2011. 36). Bila memposisikan kebudayaan modern saat ini adalah keberlanjutan dari peradaban sebelumnya, bisa jadi inilah masa dimana Barat hadir sebagai Peradaban Modern penanda dari dinamis perkembangan zaman.


Haidar Bagir menyebut, mula kehadiran Barat sebagai peradaban Modern tidak bisa dilepaskan dari sumbangan pemikiran Rene Descartes, cogito ergo sum, semenjak inilah pemisahan subjek-objek menjadi jalan dalam memahami realitas. Kemampuan subjek yang rasional mampu mencercap objek yang pasif mengatarkan pada scientific method, sebagai metode untuk memperoleh ilmu-pengetahuan. Kemampuan metode ilmiah dalam mengantarkan pada pengetahuan yang objektif mendasarkan pada rasionalisme dan empirisme sebagai metode yang valid. Dengan cara itu, kebenaran segala yang material ditelusuri melalui sains dapat ditetapkan sebagai pengetahuan murni bebas nilai dengan landasan kerja utama deduksi-rasional atau induksi-empiris.


Klaim metode ilmiah sebagai satu-satunya usaha untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi alat ukur universal. Belakangan muncul pemikiran dalam melihat persoalan yang menelingkupinya. Sains tidak hanya bekerja sebagaimana keadaannya yang rasional-empiris tetapi menjalar sebagai budaya baru dalam kehidupan. Kehadiran teknologi tak serta merta mengatasi keterbatasan manusia, sebagai alat bantu/ektensi, justru semakin menempatkan manusia meninggalkan kemuanisaannya. Sebab, semua telah mampu dipekerjakan oleh sains dan teknologi, lebih mengejutkan lagi timbul diferensiasi pada ranah nilai kultural. Bahwa seni, moral dan sains secara mengejutkan terpisah sama sekali. Efek lebih lanjut dari adanya pembedaan wilayah ranah nilai kultural itu, menimbulkan gejala dan praktek alienasi, fragmentasi, disosiasi dan keterpisahan dalam pertautannya dengan modernitas.


Melihat kondisi seperti ini pertanyaannya adalah bagaimanakah kemudian mensikapi perkembangan sains dan teknologi dewasa ini. Apakah kita berada dalam ruang ini? Ketika semua mampu dilihat dan dikerjakan sedang kedudukan manusia sendiri berada dalam kendali sains dan teknologi. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kemampuan si manusia sendiri, melalui rasionalnya sendiri mengolah daya pikir yang kemudian tercipta beragam sains dan teknologi. Tetapi pada gilirannya manusia itu sendiri terjebak oleh apa yang diciptakannya sendiri.

Komentar