Data Buku
Judul :
Ramadan di Jawa Pandangan dari Luar
Penulis : André Möller
Penerbit : Nalar, Jakarta 2005
Tebal :
xi dan 309
ISBN :
979-99395-6-9
Sebelum
beranjak lebih jauh, disini, ada proses awal yang kemudian menjadikan kenapa
demikian, membalikkan posisi, baik secara redaksional maupun pandangan. Pendangan
dari luar tentang Ramadan di Jawa diambil dengan sebab sederhana, yakni
dengan membalikkan penggalan kalimat yang tersusun. Dari yang semula posisinya
dibelakang, diletakkan kedepan, dan dengan sendirinya penggalan kalimat sebelum
dibalik berada didepan, diletakkan dibelakang. Sebelum proses membalikkan
posisi, yang saya pahami pertama, posisi subjek sebagai pengamat dalam
mengamati objek kajian, sama-sama berada diluar pagar Ramadan. Dalam artian
bahwa subjek merupakan orang luar sedang yang diamatinya juga berada diluar
dari dirinya.
Proses
membalikkan posisi yakni, Ramadan kita yang sudah dipaparkan oleh pandangan
luar itu, di tempatkan ke dalam, hasilnya untuk mensikapi pandangan luar itu
mengenai hasil paparannya tentang Ramadan di Jawa. Kedua, bisa jadi
tidak perlu membalikkan posisi, agar apa yang tersaji adalah hasil dari
pandangan dari luar mengenai Ramadan di Jawa, sebagaimana mereka menggambarkan.
Dengan begitu taulah bagaimana Ramadan itu dari kacamata luar. Tinggal
bagaimana mendudukan keduannya, yang intinya agar sama-sama sesuai dari dalam
maupun luar pagar dan agar tidak begitu saja.
Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting adalah buku karya André
Möller, seorang berkebangsaan Swedia, yang memfokuskan
kajian bagaimana orang-orang Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, dalam
memahami dan menunaikan puasa di bulan Ramadan. Judul disertasi S3 itu
kemudian diterjemahkan oleh Möller sendiri ke dalam bahasa Indonesia berjudul Ramadan
di Jawa Pandangan dari Luar, tahun 2005, penerbit Nalar, Jakarta,
dengan tebal buku 309 halaman dan terbagi menjadi tujuh bab. Buku ini
secara umum memberikan gambaran kehidupan umat Islam di Jawa yang diamati selama
tiga tahun Möller berada di Yogyakarta dan Blora (Jawa Tengah). Edisi bahasa
Inggris dan Indonesia memang berbeda, ada beberapa hal yang kemudian
diselaraskan untuk menyesuaikan dengan pembacana
di Indonesia. Tugas itu kemudian digarap oleh Solomon Simanungkalit,
wartawan Kompas.
Puasa sebagai salah satu rukun Islam, bagi orang
Islam yang sudah berkewajiban untuk melaksanakan, wajib dikerjakan, diluar
tidak ada halangan (syarat puasa) yang menjadikannya bisa diganti pada bulan waktu lain. Dalam surat Al-Baqarah ayat 183,
jelas terbaca puasa sebelum Islam, juga telah diwajibkan atas orang-orang
terdahulu. Secara sepintas Möller melihat hal ini sebagai catatan tentang puasa
mulai dari jaman Jahiliyah, Agama-Agama di India, Yahudi, Kristen. Selain itu,
Möller mengutip beberapa keterangan dari Al-qur’an, Hadist dan dari para
Intelektual Islam sebagai penguatan topik. Di buku ini juga dapat ditemui
penggunaan lebih dari satu bahasa, yakni
penggunaan bahasa Arab, Indonesia dan Jawa. Mengingat ada beberapa istilah yang
kadang tak tepat ataupun tak sesuai dengan kata istilah itu sendiri bila
dikonversi ke bahasa lain. Sedangkan mengenai metode diperoleh dari kerja
lapangan dan informan yang kemudian disajikan secara etnografis.
Pertama, untuk
melihat bagaimana Islam di Jawa, dilihat oleh Möller dari sudut pandang sejarah
masuknya Islam ke Nusantara kemudian ke Jawa, orang-orang yang terlihat
didalamnya sebagai aktor utama dan dari data dari para peneliti terdahulu.
Bahwa, kehadiran Islam di kepulauan Indonesia hampir setua Islam sendiri tidak
dapat ditolak jika dipikirkan bahwa Islam Cina menerima utusan-utusan Arab
(yang beragama Islam) para era khalifah ‘Uthman din ‘Affan (664-656).
(hlm. 49). Melintas dari tanah Arab melalui jalur sutra laut sampai ke Cina,
dengan demikian melintasi wilayah Indonesia untuk singgah kemudian untuk
melanjutkan perjalan ke tanah tujuan. Aktor yang disebut adalah para wali, Walisongo,
penyebar dakwah Islam di Jawa. Kondisi Islam di Indonesia masa kontemporer,
Möller menggali dari Clifford Geertz dan Mark Woodward, berikut
juga kritik padanya, sampai pada
aktor atau kelompok keagamaan dalam suatu masyarakat. Mulai dari Tasawuf atau
Sufisme, Islam Tradisional, Modernis, Radikal, dan Islam Liberal, DEPAG serta
MUI. Keseluruhannya ini dapat dilihat pada bab dua.
Untuk meninjau lebih jauh bagaimana Ramadan dalam
pandangan Islam merujukan pada-Al-Qu’an,
as-Sunnah dan Syariat Islam-berikut juga posisi dari ketiganya dalam cara
pandang orang Jawa terpapar dalam ketiga bahasa Arab (terjemahannya saja),
Indonesia dan Jawa. Sajian ini Möller lakukan untuk menjelentrehkan
puasa sampai pada dataran operasional puasa. Sedangkan fokus tujuan dari buku ini
baru dapat dilihat pada bab empat sampai bab terakhir, tujuh. Namun empat bab
dari akhir ini, menurut saya dapat
berdiri sendiri, mengingat apa-apa yang disajikan pada masing-masing bab
membicarakan konteks yang berbeda, malah cenderung tak terlihat bagaimana orang
puasa di Jawa dalam memahami dan menunaikan puasanya, kecuali pada bab lima
saja yang menyajikan bahasan mengenai Ramadan dalam kenyataan di Jawa.
Kedua, Ramadan
dalam Media Kontemporer, Möller menampakkannya dari buku-buku yang berkaitan
dengan Ramadan yang beredar dipasaran. Ia juga menempatkan jajak pendapat
Kompas 23-11-2002 untuk mengetahui intensitas membaca yang sangat diancurkan
selama bulan suci Ramadan. Dengan 56% lebih orang-orang Islam di Indonesia
membaca karya Islam, 72% dari jumlah ini menguntamanakan penulis-penulis
Indonesia, dan kurang dari 8% lebih cenderung memilih yang ditulis dari luar
Nusantara. (hlm. 142).
Buku-buku Ramadhan yang dibeli Möller, buku karya
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Keistimewaan dan Hikmah Ramadan, th.
2000, 170 hlm, Rp. 13.800. Buku karya Ust. Labib Mz, Selamat Datang Bulan
Romadhon: Dilengkapi dengan Sholat Tarawieh, Sholat Witir, Sholat Hari raya
& Do’a-Do’a, (tanpa tahun), dan Selamat Datang Bulan Ramadhon, th.
2000, harga Rp. 500. Buku karya Romdoni Muslim, Penuntun Ibadah Puasa,
Jakarta, th. 2001, 150 hlm, harga Rp. 14.500. Buku karya Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddeqy, Pedomana Puasa, th. 1973, Pedoman Sholat, Pedoman
Haji dan Pedoman Dzikir dan Do’a, sebuah seri “Pedoman Ibadah” dari
penulis yang sama, 360 hlm, harga Rp. 23.000. Buku karya Achmad Suyuti, Nuansa
Ramadhan: Puasa dan Lebaran, th. 1996, harga Rp. 12.000.
Bukan tanpa alasan kenapa Möller membeli buku-buku
itu, ia mengungkapkan bahwa pertama karya-karya itu dianggap sebagai
“perantara kebudayaan” atau “perantara tradisi”. Kedua, bisa meluaskan
pemahaman mengenai ibadah puasa. Juga merujuk pada buku-buku itu untuk melihat
bagaimana soal keberkahan Ramadan, penentuan 1 Ramadan dan 1 Syawal, jumlah
rakaat terawih, mencari Lailatul Qadar,
iktikaf dan pesta lebaran. Ia juga menjadikan artikel ulasan pada media cetak
seperti Kompas, Media Indonesia dan Republika dan
penceramah di TV seperti Zainuddin MZ, Aa Gym sebagai penampakan
Ramadhan di Media. Dari sini, bisa dilihat bagaimana penampaan Ramadan yang
dimaksudkan oleh Möller. Pada awal bab enam, Möller menyatakan penyadaraannya bahwa
media komtemporer tidak selalu berhasil berperan sebagai perantara kebudayaan dan ketidakikutaannya dalam studi-studi puasa secara teologis.
Pada kenyataan masyarakat Jawa terjadi
proses penyebutan yang berbeda terkait dengan nama-nama bulan dalam kalender Hijaiyah.
Kenapa demikian? ini barangkali maksud para pendakwah Islam dahulu ketika
menyampaikan ajaran Tauhid ke Jawa, semacam asimilasi budaya, untuk memasukkan sedikit demi sedikit unsur Islam ke dalam
kebudayaan masyarakat yang lebih
dulu mengakar. Bisa jadi juga memang terkandung nilai filosofis tersendiri
kenapa masyarakat Jawa menyebutnya demikian. Seperti bulan Rajab, jadi Rejeb
dalam dialeg tuturwicara Jawa, Syakban: Ruwah, Ramadan: Poso,
Syawal: Sawal/Bhodo, dan seterusnya. Salah satu kenyataan ini
kemudian oleh Möller disajikan sebagai gambaran
dari Ramadan dalam kenyataan di Jawa. Keadaan lain seperti, Nyekar
ke makam-makam sanak keluarga maupun leluhur, Ruwatan sering kali kita
lihat pada masyarakat Jawa dan di beberapa
tempat masih berlangsung sebelum bulan Ramadan tahun ini, 1433 H. Memasuki
bulan Poso sampai lebaran suasan berjalan sebagaimana umumnya, sholat
terawih, tadarus Qur’an, kultum/ceramah, iktikaf, zakat, sholat ied,
takbiran, silaturahim dimana tempat melangsungkannya, baik dalam tradisi
NU maupun Muhammadiyah. Gambaran dari Ramadan dalam kenyataan di Jawa ini
sebagai bagian ketiga.
Ramadan dalam perbandingan, sebagai bagian keempat,
dinyatakan bahwa antara Ramadan normatif (bagian
pertama), Ramadan dalam kenyataan masyarakat Jawa (bagian kedua) dan Ramadan dalam media kontemporer (bagian ketiga) tak terdapat hubungan yang
signifikan. Dengan kata lain, antara dataran idealitas dan realitas dilapangan, berbeda. Terlihat
dari praktek yang biasanya mengiringi orang-orang Jawa dalam memahami Ramadan
secara normatif. Saya kira hal ini juga akan terlihat dengan sendirinya, meski
dalam ketiga konteks masa-masa bagian itu dimana
Ramadan berjalan, dan
masing-masing konteks itu dapat berbicara dengan sendirinya. Maka dari itu,
disini terlihat bagaimana realitas Ramadan di Jawa yang ditampakkan oleh Möller,
tidak menghasilkan hal yang
baru.
Ramadan dalam perbandingan, yang dimaksud sebagai
bulan dimana umat Islam di seluruh dunia menjalankannya, suasana Ramadan di
Marako, Jordania, Arab Saudi, bagaimana Ramadan di negara-negara itu oleh Möller
coba dipaparkan sebagai bentuk perbandingan. Ini yang barangkali perbandingan
itu dimaksudkan oleh Möller. Sabagai kenyataan terakhir, menyampaikan Ramadan dalam
bentuk analisis. Bagaimana ia memaparkannya?, terlihat hanya bergulat dengan ‘membaca’
data dan informasi yang telah terhimpun oleh orang lain, baik dari buku,
artikel serta pandangan tokoh-tokoh yang berbicara berkaitan dengan Ramadan
Jawa dalam unit keluarga, perempuan, liminalitas dan function.
Kebaruan dalam menganalisis Ramadan tidak menjadi
tujuannya, proses itu yang kemudian menjadi cacatan dari semua penulisan buku
ini. Demikian ini potret dari Ramadan di Jawa dari hasil pengamatan oleh Möller.
Ada beberapa hal yang saya kira kurang, dan perlu, sebagai bahan kajian lebih dalam
untuk menjadikan pemahaman mengenai Ramadan, meskipun ia sendiri berada diluar
pagar. Saya tidak menemukan sama sekali hasil dari para informan dilapangan
yang terlibat langsung dengan praktek Ramadan-orang-orang di Jawa,
bagaimana-membaca-kaitan media dengan gerak pasar, tokoh agama, pondok
pesantren, manuskrip-manuskrip Nusantara/Jawa
dan terlebih hanya dilakukan di Yogyakarta dan Blora saja. Dapatkah dikatakan sebagai Ramadan di Jawa?.
Terlepas dari patut tidaknya dikatakan, paling tidak buku ini menjadi salah satu gambaran mengenai
Ramadan, ditengah minimnya penelitian tentang Ramadan yang ada. Saya juga baru tau, (Sabtu, 28/7 pukul 01.35), kata ‘puasa’ berasal dari
bahasa sansekreta, setelah mengikuti
kajian Mas Herman Sinung Janutama di
Karangkajen, Jogja. Hari ini (28/7)
beliau akan mengisi di Komunitas Salihara
Jakarta, tema Ronggowarsito, Islam dan
Kejawen. Demikian saya melihatnya, semoga bermanfaat.
dapat juga dilihat di http://media.kompasiana.com/buku/2012/07/28/resensi-pandangan-dari-luar-tentang-ramadan-di-jawa/
Selamat Berpuasa.
Komentar
Posting Komentar