[Buku] Peta Buta, Hilangnya Acuan Realitas


Data buku:
Judul: Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baurdrillard
Penulis: Medhy Aginda Hidayat
Penerbit: Jalasutra, 2012
Tebal: ix + 174 Halaman
ISBN: 978-602-8252-77-5

Memotret kehidupan masyarakat kekinian layaknya nontonan layar fiksi tetapi faktual dalam ruang khayali tetapi nyata. Mana yang real dan semu, bercampur baur, tumpang tindih, berkelindan. Silang sengkarut itu terjadi, ketika acuan segala sesuatu hilang. Sebab terjadi penggandaan duplikasi dari duplikat realitas. Mana yang aspal (asli tapi paslu) dan yang asli sesungguhnya, tidak begitu jelas jeda antara keduanya. Keduanya telah bersenyawa menyatu, dan semuanya kini menjadi komoditas. Komoditas untuk memasok produksi realitas menjadi permainan tanda, citra dan kode dari realitas itu sendiri. Akibatnya kehidupan menapak pada representasi dari realitas. Sejurus itu pula realitas yang diciptakan kembali, disebarluaskan, duplikasi dari duplikasi, mana yang pokok dan sekunder lebur dalam simulasi. Simulasi itulah realitas dari masyarakat hiperalitas, masyarakat postmodernisme.

Masyarakat postmodernisme sebagai consumer society, membikin kehidupan bukan lagi soal mana yang lebih utama atau tidak. Tetapi lebih mengutamakan mana yang bisa menampakkan pada subjek, sekalipun hal itu merupakan kebutuhan sekunder. Kebutuhan dari apa-apa yang termaknakan dan tersimbolkan dari barang sesuatu. Sehingga barang-barang kebutuhan sekunder menjejel masuk menjadi kebutuhan pokok yang sama pokoknya. Nilai barang-barang yang semula ditentukan oleh kenaturalan barang sebagai nilai guna dan kesepakatan dalam menilai nilai guna sebagai nilai tukar, berubah menjadi nilai makna dan nilai simbol sebagai ujud kehadiran dari apa yang dikenakan, dimakan dan tersemat pada tubuh. Lalu apa yang ia kerjakan dan lakukan menjadi cuplikan kisah kehidupan dari kehidupan masyarakat yang mengalami penyakit dari modernisme.

Mempertanyakan modernisme sama hal melacak bagaimana rasionalitas sebagai tombak pusaka Abad Pertengahan nyata kini malah menjadi permasalahan pasca-modern. Modernisme digadang-gadang sebagai usaha manusia untuk keluar dari kungkungan dogmatisme ajaran, justru membawa patologi. Rasionalitas membawa kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi pada sisi yang lain berbalik arah, menjadikan manusia kian terjerat proses produksi. Kegemilangan modernisme yang menghantarkan pada pencapaian seluruh kebutuhan kehidupan, sedemikian itu juga menjebak manusia termasuk bagian dari modus operandi produksi. Memaksa untuk tunduk dengan keadaan. Nikmati apa saja yang ada dan tersedia. Silahkan. Berbelanja di shopping mall, kongkow-kongkow lebih asik ketimbang memikirkan korupsi, tetangga miskin dan lainnya.

Medhy Aginda Hidayat, “Menggugat Modernitas: ...” penulis buku ini sebenarnya bukan saja menghantarkan pada “...Pemikiran Postmodernisme Jean Baurdrillard.” Tetapi juga rentetan dalam tubuh modernisme. Menggambarjelaskan rentang sejarah dari Miletos, Yunani, hingga Las Vegas, USA (BAB I). Perkembangan sejarah masyarakat, bagi Baurdrillard, berbeda dengan periodisasi Marx: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Menjadi masyarakat primitif, hirarkis dan masyarakat massa. (hlm. 13). Masyarakat massa ditengarahi akibat ‘revolusi’ media dalam menyumbang makna dan simbol. Makna dan simbol itu yang kemudian di konsumsi, jadi bukan lagi penghidupan, sandang, pangan dan papan. Melacak akar modernisme dan postmodernisme (BAB II) membawa pada keadaan kebudayaan masyarakat Barat. Kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, dunia yang terbentuk dari hubungan pelbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi rasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi. Distingsi mana yang real, yang asli, yang palsu, yang semu menjadi kabur. Kesatuan inilah yang disebut Baurdrillard sebagai simulakra atau simulakrum. Sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulakra itu sendiri. (hlm. 55). “...Rentang Pemikiran...” yang tersusun dari sebuah upaya untuk menginventarisasi pemikiran Baurdrillard membawa serta di dalamnya pada pokok beragam pemikiran tokoh-tokoh lain.

Adalah Jean Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), menjadi acuan kunci dalam memahami masyarakat postmodern. Berikut juga seperti semiologi Saussure, fetisime komoditas Marx, teori differance Derrida, mitologi Barthes serta genealogi Foucault. Dengan mengambil alih dan mengembangkan gagasan para pendahulunya itu, Baurdrillard dalam Simulations (1983) menggambarkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam dunia simulakra, simulakrum dan simulasi. (hlm. 73). Analogi mengenai simulasi seperti peta. Namun peta yang dibuat lebih dulu, tanpa memandang dimana gambaran peta yang timbul merupakan kondisi sebuah wilayah. Jadi, guratan gambar tanpa acuan pada sebuah peta terbentuk terlebih dulu, baru kemudian wilayah yang dipetakan benar seperti adanya pada peta. Dengan kata lain, bayangan wujud itu lebih dulu dan membentuk, ketimbang real-realitas. Dalam bahasa Baudrillard “...Teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan simulakra petalah yang membentuk teritori...” (Baudrillard, 1983: 32).

Kebudayaan postmodernisme sebagai gambaran dari perkembangan kapitalisme lanjut, penggerak realitas bukan lagi pada produksi sebagaimana pemikiran Marx, yakni nilai guna dan nilai tukar. Tetapi konsumsi sebagai faktor dominan yang menggerakkan, menjadi nilai tanda dan nilai simbol. Sebagai objek konsumsi berupa komoditas, menjalar ‘berkat’ capaian era modern, ilmu pengetahuan dan teknologinya. Semua mampu dikalkulasikan, direifikasi oleh capaian era modern itu. Lewat “televisi, film, iklan, Doraemon, Mickey Mouse, Disneyland, Las Vegas, Beverly Hills, Universal Studio, kini menjadi model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan sosial, budaya, politik masyarakat dewasa ini.” (Piliang, 1998: 194). Semua coba dikemas menjadi tontonan yang menghibur, menarik, sekaligus juga mengajak. Di sana ada nilai etis yang diajarkan, kebijaksaan, kesempurnaan, kepahlawanan bahkan kebaikan. Semua diformat sedemikian rupa, agar seperti yang ditonton dan yang digambarkan, itulah realitas.

Dalam masyarakat kita, juga mengindikasikan hal yang sama. Menjamurkan shopping mall, budaya K-Pop. TMII, Taman Impian, Dufan di Jakarta. Studio milik salah satu televisi Nasional di Bandung dan Makassar. Taman Pintar di Yogyakarta. XXI, Selebriti, Infotaiment, semua menawarkan hal serupa. Citra-citra yang terpancar dari simulasi itu adalah gelombang massa. Budaya massa, budaya populer muncul kepermukaan. Menggerakkan realitas (simulasi) mengidamkan seperti adagium ‘kecil disuka, muda terkenal, tua kaya raya, mati masuk surga.’ Postmodernisme sebagai daya dobrak modernisme menunculkan pula term, kosa kata baru yang (me)njelimet(kan). Silang sengkarut, berkelindan, tanda, citra, kode, simulakra/simulakrum, simulasi, petanda (signified), penanda (signifier) adalah beberapa diantaranya. Pemaknaan atas term, kosa kata itu semuanya kini terlibat pada aktifitas keseharian masyarakat hiperealitas, sejumput realitas tanpa acuan, tanpa rujukan, tanpa asal usul.

*Pernah dimuat pada Majalah Basis, edisi DUA BULANAN, NOMOR.03-04, TAHUN KE-62, 2013

Komentar