Dari Oral ke Literasi, Kini Nonton dan Nongkrong


Ada banyak hal yang belum diketahui. Baik itu yang dulu, sekarang maupun apa yang akan terjadi di masa depan. Berusahan untuk mencaritau pun tidak segampang membalikkan telapak tangan. Untuk mencaritahui sama seperti cerita, dalam dongeng . Dari dongeng, bisa didapati gambaran bagaimana asal-usul dari segala apa yang didongengkan. Apa yang diceritakan didalamnya, bisa jadi hanya ‘karangan’ penutur, bisa jadi juga hanyalah mitos dan bisa jadi pula adalah hal sebenarnya. Kemungkinan benar tidaknya dari cerita yang didongengkan paling tidak menjadi salah satu cara untuk mengetahui, dan yang pasti dongeng itu sendiri benar adanya, bahwa ada dongeng.

Mendongeng adalah adat kebiasaan menutur, dan dalam menutur butuh kemampuan berbicara. Apa yang kemudian terlontar tersusun menjadi kata, kalimat sampai membentuk cerita perlu kemampuan luar biasa. Agar cerita yang disampaikan tidak berkurang maupun bertambah, tetap utuh. Sedikit saja berubah, akan sangat berpengaruh terhadap cerita. Kebiasaan oral dalam menuturkan menjadi cara untuk mengatahui apa yang belum dikatahui. Dari sana cerita itu mengisi keingintahuan. Dari satu cerita, akan berbeda bila disampaikan oleh orang kedua, ketiga dan seterusnya. Cerita asli yang keluar dari orang pertama yang menceritakan, jika dirunut, barangkali bukan berasal dari dia juga. Karena tidak ada cerita yang sampai ke telinga jika tidak ada orang yang menceritakan. Begitu juga cerita itu tidak akan sampai ketelingan tanpa apa asal dimana cerita itu muncul. Jadi, sumber cerita itu sendiri yang harus bercerita, baru di dapat adanya cerita. Dari cerita berkembang menjadi dongeng keseharian, mitos ataupun semacamnya. Di sana perubahan itu terjadi, ruang dan waktu yang menjadikan cerita yang didongengkan mengalami perubahan.

Dahulu, mungkin sampai sekarang, dongeng acap kali menjadi teman pengantar tidur. Saya sendiri pun tak mampu mendongengkan, misal, Sang Kancil Mencuri Ketimun. Lepas dari benar tidaknya kenyataan dongeng ini, yang pasti bahwa mencuri itu salah, tidak dibenarkan.

Oral atau menutur adalah merupakan capaian orang-orang ketika masa itu sebagai adat kebiasaannya. Adat kebiasaan yang diartikatakan sebagai kebudayaan manusia. Maka dari itu, tradisi oral adalah cara orang untuk mengetahui atau memberitahukan kepada orang lain bahwa ada sesuatu. Sesuatu itu merupakan pengetahuan atau apa yang belum diketahui orang lain. Ide dasar yang membangun cerita yang tertutur ikut pula membentuk manusia dengan segala kemampuannya dalam mengangkap apa yang diceritakan. Kebiasaan menutur ini ikut andil besar dalam kebudayaan, malah membentuk kebudayaan pada waktu dimana menutur sebagai titik central asal pengatahuan.

Ketika begitu besarnya kepercayaan manusia terhadap cerita, bahwa apa yang diceritakan itu mengandung kebenaran, disana pulalah manusia itu akan menerimanya tanpa perlu mencaritau kebenarannya. Bila dikemudian waktu, ternyata tidak benar, akan sulit untuk merubah pemahaman. Sebab, sudah begitu lekat antara cerita dengan manusia. Malah mungkin menyatu dalam keseharian. Sebagai Zoon Politicon kata Aristoletes (384-322 SM), makhluk yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia, jadi makhluk yang bermasyarakat. Menutur menjadi cara orang bergaul, bermasyarakat. Dengan begitu kehidupan ada. Kehidupan yang terbangun dari cerita-cerita. Cerita mana yang mengandung kekuatan menjadi juru perlindungan. Perlindungan dari kekacauan, bencana, kutukan, dan semacamnya. Begitu besar kepercayaan yang terbangun, sebesar itu pula kepercayaan masyarakat dalam menjalankan ritus kehidupan.

Dari cerita yang oral kemudian menjelma menjadi gerutan-gerutan symbol. Gerutan-gerutan itu menempel pada dinding gua dimana manusia itu tinggal, menjadi benda-benda alat pertahanan kelangsungan hidup, sampai pada arsitektur. Perubahan ini menjadi babak baru, babak cerita yang kini telah dibakukan menjadi symbol. Dari symbol, cerita terus berlanjut sampai pada pembacaan dengan teknik yang lain. Teknik yang telah mengenal huruf dan angka. Huruf dan angka adalah usaha setingkat lebih jauh ke depan dalam rangka mencari pengetahuan. Dari sana kemudian cerita berganti menjadi tulisan.

Dari oral kini beralih ke menulis tulisan, literasi. Tulisan terbentuk dari huruf-huruf. Huruf itu sendiri sebagai media dari bunyi, ketika ingin mengatakan atau menceritakan sesuatu. Huruf adalah bunyi. Bunyi untuk menyebut dari apa yang ingin dikatai. Huruf A sampai Z semua memiliki makna dan bunyi sendiri. Setiap huruf dapat berdiri sendiri, dapat pula berderet beberapa huruf, sehingga bunyi yang ditimbulkan sesuai dengan derat huruf itu tersusun. Huruf A tidak sama dengan huruf B. Begitu juga bunyi yang menyertai dalam menyebutkan kedua huruf tersebut. Dari huruf itulah kemudian tersusun menjadi kata. Beberapa kata kemudian menjadi kalimat. Dari beberapa kalimat tersusun menjadi paragraf, sampai tersusun dalam satu rangkaian cerita dalam bentuk buku. Buku itulah bentuk gambaran dari literasi.

Dahulu cerita bersambung dari mulut ke mulut. Kini cerita tersusun menjadi buku, dan membaca adalah cara untuk mengetahui isinya. Menulis dan membaca adalah adat kebiasaan yang turut serta membangun kehidupan, selain cerita dalam dongeng. Sebuah karya tulis seseorang adalah gambaran dimana ia membakukan apa yang telah ia pahami dalam rangka meraup pengetahuan. Pembakuan cerita menjadi tulisan dalam buku menjadikan setiap orang bisa menilai. Menilai sesuai dengan sudut pandang dan cara pembaca sendiri. Untuk menangkap pemahaman penulis yang menutur dengan pembaca, perlu dibangun satu pemahaman. Agar tidak terjadi kesenjangan kepahaman. Untuk menghindari kesenjangan kepahaman perlu kesetaraan. Setara, sama secara leksikal, maksud dari penutur dan bukti-bukti objektif dari tulisan yang disampaikan kepada pembaca.

Dari literasi sekarang beranjak pada kebiasaan menyaksikan dan berdiam diri. Modernitas yang memacu pada perubahan perilaku membawa dampak besar ke segala sendi kehidupan. Semua kini bisa didapat dan diketahui, tanpa harus beranjak dari tempat duduk. Semudah itu pula sili berganti beragam informasi. Teknologi menawarkan lebih dari pada waktu dulu, setiap orang dapat mengetahui apa yang dikerjakan orang lain. Tidak perlu repot-repot melantangkan suara, lewat jejaring sosial bisa berinteraksi tanpa harus kehadiran subjek. Pribadi subjek telah berganti menjadi kata-kata pada laman media sosial. Jadi interaksi satu sama lain bisa ditonton. Dengan kata lain, menonton dirinya sendiri lewat media.

Perubahan demikian ini semakin menjadi-jadi, ketika satu dengan yang lain bertemu, bertatap muka. Tetapi, anehnya tidak saling bercakap-cakap. Malah asik bercengkarama dengan bawaan utopiagadged masing-masing. Tempat dimana mereka berjumpa, laksana pendataran pesawat tanpa awak. Diri mereka hadir, nongkrong bareng, namun otomatis digerakan dari jarak jauh. Begini itulah, media dan teknologi yang memanjakan hidup, jadi tidak perlu repot-repot. Nonton dan nongkrong menjadi pilihan ditengah aktifitas. Aktiftas kehidupan instans, praktis, mudah dan tentu saja memanjakan. Kapan lagi kalau tidak sekarang, karena hidup cuma satu kali di dunia ini.

Inilah dongeng itu, berusaha bertutur kata ke dalam tulisan, sembari nonton cuplikan cerita, hasil dari tongkrongan di depan monitor.

Komentar