Rasanya jengah
mendengar bagaimana kepemimpinan negeri ini dalam menjalankan pemerintahan.
Belum banyak terasa perubahan yang jelas dinikmati oleh rakyat. Kepemimpinan
yang diarahakan untuk keluar dari belenggu kompleksitas persoalan, nyatanya
malah berbelit persoalan. Soal penegakan hukum, korupsi masih mendominasi.
Lingkungan kekuasaan masih berbalut pencitraan, dibandingkan dengan kerja
praksis melaksanakan agenda reformasi. Perubahan yang diharapkan untuk
membenahi sistem bernegara malah menjadi belenggu tersendiri akibat
kontrak-kontrak politik. Masing-masing kepentingan berupaya tampil manis
mengatasnamakan kepentingaan rakyat banyak, nyatanya toh mengamankan kekuasaan
ditengah kejengahan rakyat terhadap wakilnya. Sedemikian runyam kah kondisi
negeri ini?
Persoalan yang
mengetengah kepermukaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bila
diterjemahkan dengan merujuk Alquran pada surat al-Maidah: 8 terletak pada
konteks keadilan dan taqwa. “Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah kamu
orang yang jujur (dalam memerintah dan mengadili) karena Allah, jadilah kamu
saksi yang adil, dan janganlah kebencian terhadap suatu golongan menjadikan
kamu berlaku tidak adil. Bersikap adillah. Sebab, keadilan itu lebih dekat
kepada taqwa.” Bagi yang memegang kekuasaan, taqwa berarti memerintah
dengan keadilan. Sebaliknya, sikap yang adil itu dekat dengan kualitas taqwa. (M.
Dawam Rahardjo, 2005: 176).
Keadilan dan taqwa kini
tak lagi menjelma sebagaimana mestinya. Ketika keadilan lekat dengan
kepemimpinan, maka diartikan sebagai alat untuk mewujudkan keadilan. Sedangkan
pemimpin sebagai orang yang menggunakan alat itu, maka adalah orang yang
seharusnya benar-benar bertaqwa. Kepemimpinan sebagai alat memungkinkan
sepenuhnya untuk mencapai tingkat keadilan. Selain sebagai bentuk kepercayaan
dilakukan juga usaha agar tidak mengalami kemunduran ummat dalam kehidupan.
Tidak boleh mendominasi, mengusai secara mutlak, menindas. Maka dari itu ada
ajaran yang menyeru pada kebaikan dan mencegak dari kemungkaran, amar ma’ruf
nahi munkar.
Masih merujuk pada
keterangan M. Dawam Rahadja, dalam sejarah Alquran telah melukiskan bagaimana
perilaku elite yang durhaka dan sesat. Yaitu para raja yang zalim, tiran (thaghut).
Para pemuka masyarakat yang menolak kebenaran (mala’). Golongan militer
yang kuat (ulu ba’s syadid). Pemimpin rohani yang berlebih-lebih dalam
ajaran agama (ruhban dan ‘ulama). Lapisan masyarakat kaya yang
hidup mewah (muthrafin). Juga bangsa yang amoral seperti umat Nabi Luth.
Masyarakat ekonomi yang korup dan curang (muthaffifun). (ibid,
178). Rekam jejak sejarah demikian sepatutnya menjadi pelajaran. Pelajaran bagi
orang-orang yang berfikir.
Kesempurnaan manusia
sebagai satu-satunya mahluk yang ‘berani’ menerima amanah sebagai khalifah di
muka bumi, dengan begitu letak untuk mencoba membangkitkan kondisi negeri dari
keterpurukan, juga bertampuk pada pundak seorang pemimpin. Untuk itu sebagai
pemimpin (khalifah) pada gilirannya dilengkapi fungsi kepemilikan akan ilmu.
Ilmu untuk mengatur dan mengolah alam semesta. Memiliki kualifikasi berupa
tingkat keimanan dan kearifan. Semua ini dibutuhkan dalam menjalankan
peranannya sebagai khalifah. Jika saja para pemimpin negeri ini takut dari
perbuatan dosa, makna harfiah taqwa, dengan segera negeri ini bangkit dari
keterpurukan menuju negeri yang berketuhanan, berkeadilan, bersatupadu,
bermusyawarah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Komentar
Posting Komentar