Sebenarnya kontrol
terhadap manusia tidak hanya dalam dunia pendidikan saja, namun hampir semua
aktifitas masuk dalam kategori pengawasan. Semenjak lahir, individu diharuskan
membuat Akte Kelahiran sebagai surat keterangan sepasang suami istri telah
melahirkan anak dari hasil perkawinannya. Ketika menginjak usia dewasa (17
tahun) ada aturan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sampai meninggal
sekalipun, ada catatan yang dibubuhkkan untuk menandai seorang individu telah
mangkat. Semasa hidup, pendidikan menjadi salah satu kebutuhan manusia,
disamping kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Dengan begitu pendidikan
harus dikontrol agar si individu dapat diketahui bagaimana perkembangannya.
A. Sudiarjo
menjelaskan bahwa, “sejarah pendidikan merupakan perkembangan yang amat
panjang”. Perkembangan yang kemudian mengarah kepada perubahan haluan
pendidikan dapat digambarkan dalam posisi binner berikut. “Mulai dari
pergeseran dari kepentingan untuk elite penguasa, meluas ke kepentingan
partisipasi rakyat; dari kepentingan pembinaan watak kepribadian, ke arah
pengembangan keterampilan dan keahlian untuk bekerja; dari kepentingan individu
sebagai manusia utuh, ke kepentingan pergaulan sosial yang lebih luas dan
terbuka; dari kepentingan untuk melestarikan nilai-nilai tradisional, ke
kepentingan sosial; dari nuansa religius dan keagamaan, ke nuansa duniawi dan
sekuler.” (A. Sudiarjo. “Dari Pembinaan Watak ke Globalisasi Pendidikan. dalam
majalah Basis, No. 07-08, Tahun ke-58, Juli-Agustus 2009). Namun begitu
keadaannya, lebih-lebih keadaan ini terjadi seiring dengan rasionalitas sebagai
ujung tombak dalam menjelaskan segala sesuatu, termasuk untuk melihat bagaimana kualitas pendidikan.
Pendidikan sebagai
salah satu proses untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dalam perkembangannya
kini banyak timbul persoalan. Di tengah kondisi negeri yang tak kunjung selesai
tersandera dengan beragam persoalan, pendidikan diharapkan menjadi jalan keluar
untuk berusaha bagaimana menjadi negeri bermartabat. Ada usaha untuk
meningkatkan mutu pendidikan, diantaranya melaksanakan Ujian Nasional (UN).
Dengan menerapkan standar nilai kelulusan rata-rata minimal 5.50 pada tahun
2012, dari masing-masing dari mata pelajaran yang diujikan, diharapkan siswa
mampu memenuhinya. Menjalang ujian, sebagian besar sekolah menyelenggaran les
tambahan, upaya ini dilakukan untuk bekal siswa dalam menghadapi hantu
UN.
Begitu menjadi momok,
hingga dalam proses penyelengaraan UN, jalan ketakpatutan kadang dilakukan.
Jalan ini dilakukan karena tidak ingin siswa gagal menempuh UN. Disamping juga
akan berimbas pada nama baik sekolah tempat siswa mengeyam pendidikan. Kepala
sekolah dan Guru juga akan tertimpa hal yang sama. Maka untuk menghindarinya,
sekolah dan dinas terkait terindikasi kuat ada bersama-sama untuk menjalankan
persengkongkolan guna memuluskan jalannya UN. Kenyataan ini tidak dapat
dipungkiri. Di level pemerintah, Dinas Pendidikan melihat proses UN seolah-olah
menjadi takaran pendidikan telah berkualitas, sebab para siswa mampu memenuhi
standar nilai nasional. Padahal bila proses berjalananya UN penuh dengan
kecurangan dan pemaksaan, dimana letak kualitasnya?.
Belum selesai soal
UN, ada lagi persoalan tentang Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI)
dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang menimbul diskriminasi. Terlihat
dari status yang disematkannya hanya memberi perluang kepada elite berpunya
saja yang mampu menyekolahkan anaknya. Tidak hanya sekedar soal biaya, bahasa
pengantar yang digunakan yakni bahasa Inggris ditengarahi telah melanggar Pasal
36 UUD 1945 yang menyatakan “Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia”. Di satu
sisi, RSBI dan SBI sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing global,
namun ketika menimbulkan privilene, diskriminasi dan dengan sendirinya
menimbulkan kesenjangan kelas, layakkah untuk diselenggaran?. Di sini lain,
Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sebagai dasar
hukumnya masih terjadi polemik.
Di perguruan tinggi
dorongan untuk meningkatkan Qualitas juga dilakukan. Setelah UU BHP dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kini soal karya ilmiah. Surat edaran dari
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Perguruan Tinggi,
tertanggal 27 Januari 2012. Menyebut “ …pada saat sekarang ini jumlah karya
ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika
dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh..”. Dari sini kemudian
mahasiswa diharuskan untuk mempublikasikan karya ilmiahnya. “…terhitung mulai
kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan…” dibawah ini:
1. Untuk
lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal
ilmiah.
2. Untuk
lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal
ilmiah nasional diutamakan yang terakreditasi Dikti.
3. Untuk
lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk
terbit pada jurnal Internasional.
Pemberlakuan aturan
perihal penerbitan karya ilmiah yang ditandatangi oleh Direktorat Jendal Djoko
Santoso ini, menjadi gerak kontrol untuk bagaimana mengendalikan pendidikan.
Disamping alasan karena ketinggalan dari negeri tetangga, Malaysia, aturan ini
menjadi ilustrasi bagaimana kualitas pendidikan negeri ini. Pada sisi yang lain
kenyataan ini menjadi ironi, sesederhana itukah alasan pemerintah mensyaratkan
publikasi karya ilmiah mahasiswa untuk dapat lulus?. Barangkalai untuk keluar
dari kemelut pendidikan sekarang ini, ingat akan bagaimana para pendahulu
menempatkan ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri
handayani sebagai Visi Pendidikan sedari dulu hingga seharusnya sampai
sekarang.
Komentar
Posting Komentar