Mana Politikus Mana ‘Tikus’ Beda Tipis


Tulisan ini berawal dari komen seorang teman, katanya “Sulit membedakan mana POLITIKUS mana yang TIKUS…”. Begitu yang ia sampaikan dilaman media sosialnya dan beberapa teman menyukainya. Saya tidak habis pikir bagimana membedakan keduanya. Keduanya sama-sama membutuhkan udara untuk bernafas, makan-minum untuk kelangsungan hidup, dan bekerja sebagaimana kedudukannya sebagai mahluk. Barangkali celoteh itu muncul dan menilai yang terindikasi dari kerja para politikus, khas mengejar kepentingan, umbar janji dan perilaku koruptif.

Sulit sekarang ini menilai mana pelaku politik yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Ketika sekian banyak yang terjerembab pada kasus korupsi, manis menyampaikan analisis politik, tampil dimuka umum, namun mentah realisasi. Tidak ada yang sepenuhnya melakukan kerja aktifitasnya sebagai seorang politikus didedikasikan untuk kepentingan rakyat. Disatu sisi para politikus adalah kader partai, dengan begitu kepentingannya pertama-tama untuk kelompoknya terlebih dahulu. Baru kemudian jika menyimpul gara-gara desakan dari bawah, baru ramai-ramai membicarakan isu. Di sini lain, karena arena tempat bergulat para politikus adalah medan kepentingan, maka memburu posisi secara politis agar tetap manggung menjadi pekerjaan utama. Jadi mana mungkin mengurusi kepentingan banyak.

Namun bila tempat tinggal sang tikus berada di Senayan, bagaimana jadinya. Tikus-tikus kantor, begitu Iwan Fals menyebut pada salah satu lirik lagunya. Ia tak pernah kenyang dan rakus. Keberadaanya sulit terdeteksi, sebab ia berpakian rapi dan berdasi. Kerja yang tak seharusnya dikerjakan sebagai politisi, nyatanya korupsi, ini yang menjadikan keduanya sama. Sama-sama menjadi hama.

Meski tikus menjadi kawanan hama, namun posisinya tetap masuk kedalam rantai makanan. Secara alamiah, jika terjadi anomali dalam siklus rantai makanan, dapat ditelusuri pada masing-masing dari perkembangan ataupun penyebarannya. Jadi tidak serta mesta hama menjadi ancaman, malah kalau tidak seimbangan perkembangbiakannya mengancam keseimbangan ekosistem. Hubungan timbal balik dalam keseimbangan ekosistem ini yang menjaga agar siklus kehidupan organisme terjaga. Namun bagi petani, tikus menjadi musuh, hama tanaman padi, tidak hanya disawah dilumbung tempat padi disimpan tikus malah menjadi penghuni tetap. Keberadaan sarangnya pun tidak menentu, kadang disisi pematang sawah, di dalam petak sawah, ataupun tinggal satu atap bersama pemilik padi.

Jika di sawah, Petani yang geram pada tikus yang menjadikan tanaman padi gagal panen, akan memburunya sampai kesarangnya sekalipun. Di Senayan, harapan pada KPK untuk memberangus praktik koruptif para tikus-tikus kantor juga dalam usaha praksis untuk menggiring koruptor ke dalam tralis teruji penjara sejatinya menjadi kerja kongkrit. Maka, kepada KPK harapan ini ditujukan. Tetapi namanya juga tikus, ia cerdik, melompat-lari kesana-kemari, berlindung dibalik meja dan sulit diendus modus operandi dalam melancarkan kerakusannya. Tetapi secerdik bagaimana pun, ia akan tetap dikejar, diburu sampai diketiak penguasa sekalipun.

Salah satu cara Petani untuk mengurangi hawa tikus, dengan menyumpal pintu masuk sarang. Cara ini memang hanya sekedar menunda beberapa saat saja untuk tikus beraksi kembali. Cara yang jitu kadang dengan memporak-porandakan sarangnya, bila dirasa kurang berhasil, dengan cara mengasapi sarang dan ketika tikus keluar diburu bersama-sama dengan para petani lainnya. Usaha ini dikatakan cukup efektif, agar tikus tak kembali lagi menduduki lahan persawahan, kalau tidak ia berhasil kabur membuatnya jera, kapok. Ada juga cara yang lebih ekstrim, proses ini menjadi semacam pembantaian, tidak sekedar mengusir namun menghabisinya sama sekali dengan memburu dan menamatkan tikus sampai ke keturunanannya sekaligus.

Dalam usaha yang sama, memberangus praktik korupsi dengan menutup sarang yang terindikasi kuat pernah dilakukan oleh presiden Abdurahman Wahid, ketika beliau menutup Kementerian Penerangan RI. Meminjam ungkapan dari Alm. Gusdur ketika ”tikus-tikus telah menguasai sarangnya”, sekarang ini mau tak mau memaksa semua pihak, terlebih KPK, untuk bekerja ekstra. Bukan hanya sekedar menjebak dan memasang perangkap, tetapi dengan mengasapi sarangnya juga dikerjakan agar ia keluar dengan sendirinya. Bila pada kenyatannya kurang mujarap, mendobrak masuk-diistilahkan disini: cuci gudang-ke segala celah tempat tikus-tikus kantor bersarang sangat memungkinkan untuk memutus rantai makanan politikus yang men(t)ikus.

Pertanyaannya disini, jadi bila para politikus saat ini ada beberapa kesamaan dengan tikus, malah beda tipis, apakah harus bertanya kepada Petani? soal perbedaan keduanya.

Komentar