Obrolan-obralan
santai diwaktu senggang dengan lawan berbicara siapa saja itu, kadang
menstimulus untuk coba menuangkannya kedalam tulisan. Sewaktu sedang asyik
ngobrol beberapa ada hal-hal yang sederhana, namun menuntut kemampuan untuk tak
sekedar mengangung-anggup kepala, tanda mengerti dari apa yang diobrolkan. Kadang malah
menjadi sesuatu untuk terus dicari maksudnya apa tadi ya… Baru setelah
terpahami maksudhnya, kelakar mengudara, oh begitu maksudnya…, baru nyadar…ternyata…
dan beberapa ekpresi lainnya.
Obrolan santai disini
yang coba diketengahkan tentang beberapa hal umum, ringan, sederhana atau malah
menjadi trend keseharian untuk memetaforakan keadaan yang sesungguhnya. Karena
bahasa tidak sepenuhnya mewakili keberadaan yang dibicarakan, maka salah satu
caranya dengan mengistilahkannya dengan maksud apa yang menjadi penanda sesuatu
itu berkaitan dengan konsep yang dimaksud. Kadang berfikir untuk memahami akan
diketahui nanti dibelakang, setelah sejenak memikirkan lebih dari sekedar
biasannya.
Obrolan disini
dipahami bila terjadi kontak komunikasi antara dua orang atau lebih, darinya
terjalin sama-sama berbicara soal hal yang dibicarakan, disinilah obrolan itu
yang dimaksud. Santai, menandai kondisi, kondisi sewaktu terjadi proses
komunikasi antara kedua pihak. Karena begitu longgar konteks yang dimaksud,
untuk itu hanya contoh obrolan berikut ini saja yang diketengahkan:
Si kurus bertanya
kepada si Bontot; hoy…kapan makannya? sudah lapar nih. Si Bonton
menjawab; nanti habis Isya’. Kemudian si kurus menyambar lagi; habis
Isya’, Shubuh donk. Bukan, maksudnya setelah sholat Isya’, baru kita
makan; jawab si Bontot lagi.
Obrolan diatas begini
muasalnya; Si Bontot mengundang beberapa teman untuk makan bersama, termasuk si
kurus, dirumahnya, ia sendiri yang memasak dan menyiapkan. Nah, si kurus, tau
ada acara makan-makan, dari rumah ia tak makan, tau disana ada banyak makanan.
Dari undangan yang diterima si kurus, tertulis jam 16.00 WIB. Si kurus
datangnya malah jam 16.59 WIB. Sampai dirumah Bontot, ternyata hidangan juga
belum tersaji. Jadi pikir si Kurus, oh… belum terlambat, syukur…
Disini, obrolan
diatas dipokoknya pada soal waktu. Pertama, waktu yang dijadwalkan
dalam undangan tertulis jam 16.00 WIB. Tentu saja waktu yang dipatok
menurut ketentuan si pembuat undangan, si Bontot. Kedua, waktu
datangnya si Kurus ke rumah si Bontot menunjukkan jam 16.59 WIB, menurut
catatan waktu ditangan si Kurus. Lalu, keduanya bersama-sama coba menunjukkan
catatan waktu menurut jam masing-masing. Ternyata ada jeda waktu diantara
keduanya, entah siapa yang lebih dulu waktunya atau punya siapa yang terlambat
perputarannya.
Setelah keduannya
duduk bersampingan diatas dipan, dilihatkan keduannya catatan waktu yang
dirujuk masing-masing. Jam ditangan si Bontot saat itu, menunjukkan pukul 17.35
WIB, sedang jam ditangan si Kurus menunjukkan pukul 17.40 WIB di saat itu juga.
Jadinya keduannya bisa dikatakan selisih 5 menit. Kalau jam tangan si Bontot
sebagai patokannya, maka si Kurus lebih 5 menit darinya. Kalau jam tangan si
Kurus sebagai patokannya, maka si Bontot kurang 5 menit darinya. Lalu,
catatan waktu siapa yang lebih atau kurang diantaranya keduanya?
Kalau seperti itu,
masing-masing bisa mendudukan klaim kebenaran catatan waktunya. Si Bontot
sebagai pihak yang mengundang, bisa saja mendasarkan pada catatan waktu yang
ada padanya. Namun bagi si Kurus, meski ia sebagai orang yang diundang, ia juga
tidak tau bahwa yang yang tertulis diundangan berpatokan pada catatan waktu si
Bontot. Dengan ini, kedua pihak baik yang mengundang ataupun yang diundang,
tidak bisa menjadikannya alasan itu sebagai dasar. Keduannya juga sama-sama
tidak mendasarkan pada catatan waktu miliknya, jika sebelumnya tidak ada
kesepakatan ataupun untuk mencocokkan waktu. Jadi soal catatan waktu apakah
17.35 WIB atau 17.40 WIB yang tepat tidak dapat ditelusuri ketepatannya.
Selanjutnya waktu
yang dimaksud adalah waktu makan. Si Bontot menunjukkan keterangan “nanti
habis Isya’”, sebagai waktu ketiga. Si Kurus menjawabnya menunjukkan
keterangan “habis Isya’, Shubuh donk”, ini sebagai waktu keempat.
Waktu Kelima yang menunjukkan keterangan lanjut yang dimaksud “…maksudnya
setelah sholat Isya’…”.
Apa yang dipahami
oleh si Kurus, ketika si Bontot berujuar “habis Isya’”, yakni rentang waktu
setelahnya. Ada kesepakatan secara tak langsung, waktu yang menjadi patokan
adalah Shubuh. Diambil contoh dalam puasa, rentang waktu berawal dari “semenjak
terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari”. Semenjak terbitnya fajar ini
sebagai awal mula waktu puasa sampai terbenamnya matahari sebagai akhir puasa
dan waktunya berbuka. Kalau diurutkan, Shubuh, Dzuhur, As’yar, Magrib, Isya’
dan kembali lagi ke Shubuh. Jelas saja, si kurus ketika keterangan waktu yang
lontarkan si Bontot ia akan merujuk pada waktu selanjutnya.
Ternyata apa yang
dimaksudkan oleh si Bontot bukan demikian, yang dimaksudnya adalah waktu
setelah selesai sholat Isya’. Kalau ditanggap perbedaan waktu dari waktu makan
ini, ada proses penyampaian dan maksud yang meluruh, dengan kata lain tanda
yang disampaikan tak sesuai.
Nanti habis Isya’ kata ini disini dimaksudkan sebagai tinanda,
sebuah konsep bahwa baik paska selesai sholat Isya’ ataupun habisnya waktu
Isya’ yang berarti masuk waktu Shubuh sebagai maksud dari si Bontot. Maksud si
Bontot ini sendiri jelas menerangkan kehadiraanya, ia sebagai pihak yang
mengundang, yang punya hajat, dia yang menyajikan dan dia yang mengadakan
acara. Apa yang dikonsepsikan oleh si Bontot soal waktu makan, bagi si Kurus
bukan demikian, penangkapannya adalah jika habis itu sama dengan setelah, maka
habis Isya’ adalah Shubuh atau setelah waktu sholat Isya’ berkahir dengan
begitu memasuki waktu Shubuh. Si Kurus ternyata memaknainya memasuki waktu
Shubuh itulah waktu makan. Kemudian si Bontot menunjukkan bahwa setelah selesai
sholat Isya’ yang ditandai oleh mula-mula selesai Iqomat, gerakan sholat dan
pulang dalam arti fisik adalah beberapa aspek material dari tanda, inilah penanda
yang dimaksud waktu makan telah tiba.
Apa-apa yang
disampaikan terkait dengan waktu makan, baik oleh si Bontot (waktu ketiga),
lalu oleh si Kurus (waktu keempat), kemudian ditambah lagi oleh si
Bontot (waktu kelima), keseluruhannya adalah penandaan dari
sebuah tanda waktu makan. Meski didalamnya ada dua maksud yang berbeda, sebagai
dua sisi itu ada dalam satu kesatuan, yakni soal kapan mulai waktunya makan.
Obrolan diatas,
sebenarnya ingin menampilkan bahwa kesemua waktu (pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima) tidak ada yang menjadi patokan untuk kapan persis tepat
akan menjadi awal untuk memulai. Dalam hal ini, keterangan kesemua waktu
semenjak awal kehadiran sampai menanti waktu makan hanya akan menemui
kejanggalan. Sebab patokan waktu yang jelas itu sama saja membakukan waktu
sebenarnya, tetapi pembakuan itu sendiri bukanlah menjadi tanda waktu
sebenarnya. Ketika dibatasi waktu itu, terbatas pada titik batas itu saja,
sedangkan waktu terus berjalan, berawal dan berakhir kapan pun juga tak
mengetahui, sama saja mendominasi pihak yang diundang. Pihak pengundang yang mula-mula
menggagas acara makan, keberadaannya tak serta mesta menunda acara makan.
Membakukan waktu sama
saja menyatakan hal yang bukan sebenarnya karena terkait dengan bahasa sebagai
tanda untuk menandainya. Sebagaimana yang dilakukan oleh si Bontot, apa yang ia
kenal sebagai kebenaran (versi logosentrime) waktu, lalu pikiran dan
ucapannya bukan tersalur sebagai satu kesatuan. Sebab disana ada jeda, terlihat
dari perbedaan maksud waktu makan antara si Bontot dan si Kurus. Jika ada
ungkapan, “datanglah tepat waktu”, sedang ketepatan waktu itu sendiri tidak
bisa dibakukan kedalam bahasa. Maka, sama halnya tau kapan waktu tidur, bangun
dan sebagainya.
Mengakhiri obrolan,
bukankah apa yang di metaforakan itu memakai sesuatu yang lain untuk
menggambarkan dirinya?.
Komentar
Posting Komentar