Ditengah kondisi
pendidikan negeri ini yang tak kunjung dapat menjadi jalan keluar persoalan
bangsa. Barangkali ada keinginan untuk melihat bagaimana pendidikan yang telah
dan yang akan datang apakah telah menempatkan manusia sebagai individu yang
merdeka atas kemanusiaannya? atau hanya sekedarnya saja menjalankan amanah
konstitusi?. Maka dari itu disini coba menyampaikan bagaimana gagasan yang
dirancang oleh salah satu tokoh pendidikan asal Brasil, Faulo Freire
(1921-1997). Freire menawarkan konsep pendidikan yang memerdekaan manusia untuk
keluar dari belenggu penindasan. Bukan sekedar menempatkan proses pendidikan
sebagai ajang membentuk siswa didik sebagaimana kemauan pendidik, tetapi
bersama-sama keluar dari keterjajahan sistem dan struktur yang menindas.
Untuk membangun
proses itu, Fraire mendeskripsikan beberapa kesadaran proses perkembangan
seorang individu. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga. Pertama,
kesadaran magis (magical consciousness) yakni kesadaran masyarakat yang
tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kedua,
kesadaran naif (naival consciousness) lebih melihat bahwa aspek
manusialah yang menjadi penyebab masalah dalam masyarakat. Ketiga, kesadaran
kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek
sistem dan struktur sebagai sumber masalah. (kata pengantar Alfred Alschuler,
dalam William A. Smith, Conscientizacoa Tujuan Pendidikan Paulo Freire,
2001).
Untuk menggambarkan
kesadaran ini, disini coba disampaikan berdasarkan pada pengamatan pribadi.
Ketika masih duduk dikelas 6 SD pada tahun 1998, Reformasi sedang bergejolak di
Indonesia. Kondisi waktu itu tidak begitu dimengerti, bagaimana pergolakan yang
sedang terjadi. Ada banyak hal yang belum diketahui termasuk diantaranya adalah
soal rezim, otoriter dan mahasiswa. Kata-kata itu seperti halnya benda asing,
sebab belum mengenal dan diperkenalkan disekolah. Pada posisi ini, pendidikan
yang diajarkan dapat diistilahkan disini adalah seperti bagaimana cara membuat
sesuatu dengan bahan dasar tanah liat. Tanah liat di ibaratkan sebagai murid
atau anak didik. Maka dari itu, bagaimana bentuknya nanti, tergantung dari
proses pembelajaran yang berlangsung dan bagaimana pendidik mengarahkan selama
menempuh di bangku sekolah. Jadi dapat dilihat bagaimana hasilnya, murid seolah
tanah liat yang dapat dibentuk apa saja. Jika sistem pendidikan tidak memijak
pada konstruk berfikir memanusiakan manusia, hasilnya akan takkaruan sangat
mungkin terjadi.
Setelah lulus SD,
melanjutkan pendidikan kejenjang Sekolah Lanjut Tingkat Pertama. Setelah tiga
tahun berselang, lulus, kemudian masuk pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah
Atas. Masa itu sedikit banyak sudah diperkenalkan dengan banyak pengetahuan,
diantaranya adalah bertambahnya mata pelajaran yang diajarkan. Masa-masa ini,
dapat diartikan sebagaimana keberadaan gelas kosong yang dapat di isi air apa
saja, sampai penuh dan meluap sekalipun bisa saja dilakukan. Masa dimana mulai
memasuki kedewasaan, sehingga ada banyak hal yang kadang dilakukan sekedar
untuk eksis, galau-dalam bahasa sekarang-terkadi. Tidak banyak
mempertimbangkan ekses tindakan yang diambil juga kadang dilakukan. Ditengah
kondisi seperti ini, perlu pendampingan spikologis dalam membatu mengarahkan
kedapannya. Apa jadinya bila tidak mampu menempatkan posisi, yang terjadi bisa
dilihat kenakan remaja, geng, terbentuk dengan sendirinya. Kenyataan ini dapat
kita lihat sekarang ini. Tawuran anak sekolah, geng-geng anak sekolah sering
kali terdengar dan mewarnai pemberitaan.
Memasuki pendidikan
di bangku kuliah, ada perubahan yang mencolok. Paling tidak perubahan itu
terjadi dalam pola pikir dalam bersikap dan bertindak. Sebagaimana idealitas
mahasiswa, sebagai kaum terdidik dan kritis, sangat mempengaruhi kondisi
individu sebagai sosok manusia. Tidak sekedar menerima begitu saja, tetapi
telah terbangun argumentasi untuk menjawab problem kedirian ataupun dalam
memahami realitas yang terjadi. Kondisi ini bertalian pada kedewasaan di satu
sisi dan banyaknya cakrawala yang sekaligus juga menambah wawasan pengetahun
pada sisi lain. Lebih-lebih pada bertambahnya referensi bacaan dan penguasaan
teknologi didapat melalui usaha diri sendiri. Ketergantungan pada subjek
pendidik tidak begitu besar, lebih besar pada proses pencarian sendiri. Kondisi
ini berbeda cukup signifikan dengan awal mulai mengenyam pendidikan di SD
kemudian berlanjut di SLTP dan SMA. Maka dari itu, mahasiswa cenderung lebih
banyak mempertanyakan dibandingkan hanya sedekar mendengar ataupun menerima
jawaban begitu saja. Namun kondisi sekarang ini pun, tidak selamanya seperti
gambaran kebanyakan mahasiswa idealnya, tidak jarang mahasiswa hanya sekedar
kuliah-kos-kantin.
Membaca kesadaran ala
Freire dari apa yang sudah dikemukakan diatas, bisa menjadi cermin bagaimana
kesadaran itu berada dan bertautan dengan proses pendidikan formal-dalam
konteks khusus disini-yang ada, mulai dari tingkat dasar sampai bangku kuliah.
Perkembangan kesadaran tercermin dari bagaimana individu itu berhadap dengan
proses pengajaran yang mereka dapatkan. Sangat jarang diketahui kenakalan anak-dalam
arti kenakalan sewajarnya-tidak sampai berani menyanggah apa yang telah
diberikan. Menyanggah untuk menanggapi apa yang didapat ternyata telah usang
dan itu-itu saja. Memberikan model pendidikan seperti mendikte teks pelajaran
akan dikerjakan dengan senang hati. Padahal teman mereka sendiri yang
membacakan. Masa anak-anak memang lebih banyak diberi waktu luang untuk
bermain, namun bukan pula menjadikan mereka seperti halnya tanah liat untuk
dibentuk apa saja. Jangan sampai malah mirip mencontoh kekhasan orang lain
sebagai guru mereka. Sampai-sampai mengekor sama persis dengan apa yang ia
anggap adalah jagoannya. Jika demikian, ia berada pada kondisi “menyerupai”
atau berada pada kesadaran magis.
Kesadaran magis
identik dengan menyerupai apa-apa yang telah dikenal. Bahwa, anggapan segalanya
memang sudah dari sononya, menandakan bahwa ia tidak mampu
mengkomunikasikan satu entitas dengan entitas lainnya. Dalam hal ini, misalnya,
bagaimana kepribadian si anak dengan model pembelajaran yang ia terima disekolah,
pergaulan dilingkungan serta keseharian dirumah tinggal, ternyata sama sekali
tidak menjadi sebab. Jika menilai sebagai sesuatu yang wajar, maka ia
menganggap bahwa kekuatan natural ataupun supra-natural yang telah mengatur
semua ini. Perubahan akan terjadi bila kekuatan itu berubah, selebihnya tidak.
Faktor disekolah, sosial dan dikeluarga tidak dianggap mempengaruhi dalam
membangun kesadaran posisi si anak. Dengan begitu bukan faktor luaran itu yang
mempengaruhi kondisi, tetapi ketakmampuan diri melihat keterkitan banyak faktor
yang mengakibatkan keasadaran hanya beroreintasi semata untuk “menyerupai”.
Pada kesadaran naif,
yang menjadi masalah terletak pada manusianya itu sendiri. Manusia sebagai
sumber penyebab bisa jadi kerena ia tak mampu menangkap informasi, pengetahuan
dan kapasitas diri. Menyerahkan sepenuhnya berubah atau tidaknya kondisi
tergantung dari kualitas manusia, maka dengan begitu tak ada jalan keluar.
Sebab individu itu telah menjustifikasi keadaannya sendiri. Kondisi seperti ini
bisa saja sebagai keadaan dari oudifus complex, rasa rendah diri
yang sangat, yang tak mampu dieksprolasi menjadi kekuatan-kekuatan modal untuk
berubah. Rasa rendah diri yang sangat berdampak dan menjalar pada kekuatan
spikologis. Bila demikian ini keadaannya, maka sulit untuk menumbangkan rasa
itu, selama diri kurang percaya pada kemampuan sendiri untuk merubahnya.
Meski ada usaha-usaha
untuk melakukan perubahan, misalnya-seperti gambaran diatas-les pelajaran dan
pendampingan spikologis sewaktu duduk di bangku SLTP dan SMA. Efek yang timbul
sekedar “memperbarui” dalam bersikap dan bertindak dalam kasus tawuran, geng
anak-anak sekolah, aksi kekerasan siswa yang terjadi. Hal yang dikerjakan untuk
memulihkan keadaan kadang dengan memberikan contoh bagaimana seharusnya,
nasehat-nasehat dan pemanggilan orang tua. Satu dua kali atau sehari dua hari
perubahan terlihat, namun dalam waktu yang panjang kondisi akan kembali seperti
semula. Kondisi seperti ini tetap saja menempatkan manusia sebagai penyebab
permasalahan.
Proses perkembangan
invdividu selanjutnya adalah kesadaran kritis. Kesadaran kritis menempatkan
kondisi luara yang menjadi penyebab realitas yang terjadi saat ini. Sistem dan
sturktur yang ada mengkonstruksi untuk bagaimana sejalan dengannya. Proses perubahan
juga berbeda dengan dua keasadaran sebelumnya. Bila keasadaran magis
“menyesuaikan”, kesadaran naif “memperbarui”, kesadaran kritis adalah
“mengubah”. Mengubah cara berfikir individu, mengubah cara pandang bahwa sistem
dan struktur yang menyelimuti keadaan sebagai faktor utama realitas.
Selaian kemampuan
membaca keadaan untuk menganalisisnya, bukan hanya sekedar melihatnya sebagai
sebuah nilai, tetapi juga bagimana kerja operasionalnya dalam membentuk keadaan
masyarakat. Misalnya, bagaimana kapitalisme kini mulai mengoperasional dalam
dunia pendidikan. Hasilnya pendidikan ternyata bukan sejenak membentuk pribadi
kritis, namun sebagai lumbung pekerja untuk memenuhi kebutuhan pasar. Arus
global yang menjadikan gerak bersama, mau tak mau realitas-termasuk di dalamnya
dunia pendidikan-masuk bergerak dalam sistem pasar bebas. Seiring dengan
liberalisasi pendidikan, ternyata turut membentuk sistem perkuliah yang
menuntut kehadiran mahasiswa 75 % dikampus. Keadaan ini memaksa mahasiswa untuk
patuh, duduk termenung, tanpa ada proses interaksi dengan tugas intelektualnya
dimasyarakat. Nongkrong di tempat hiburan maupun di café-café
lebih banyak dilakukan, dibandingkan duduk berkelompok berdiskusi.
Tawaran yang
diharapkan sebagai usaha untuk “mengubah” kadang terjadi hanya sekedarnya,
tidak begitu mendalam, rapuh pada dasar pemikiran yang dibangun. Kehidupan
hedonis-konsumeris tampil kepermukaan menjadi gambaran real mahasiswa.
Bagaimana mampu berposisi sebagai kalangan terdidik, kritis mengedepankan
intelektualitas jika ternyata hanyut dalam struktur operasional yang berjalan
saat ini?. Posisi dimelatis ini, tidak sepenuhnya berlaku umum terjadi
dikalangan mahasiswa. Ada beberapa kelompok mahasiswa tetap dalam posisi
oposan, kritis, anti kemapanan dan tak larud dalam arus kekinian.
Kelompok-kelompok ini masih dapat ditemui di organisasi gerakan mahasiswa.
Kantong-kantong gerakan inilah menjadi salah satu lumbung generasi-generasi
intelektual yang kritis menyikapi sistem dan struktur yang membelenggu
kehidupan masyarakat. Kesadaran kritis mewajibkan sebuah perubahan besar
(Revolusi), agar penindasan yang terus berlangsung berkesudahan.
Komentar
Posting Komentar