Berawal
dari
Penggalan
tulisan berikut kebayakan berasal dari kutipan dari beberapa sumber. Rujukan
dalam bentuk cacatan perut sebenarnya lebih utama, dibandingkan dengan tulisan
yang tak bercacatan. Tujuannya untuk menghindari plagiat. Jadi tulisan ini
‘bukan pandangan baru’ dari pribadi, cuma pandangan dari ‘para bijak-cendikia’
sebagai bahan bacaan diskusi.
Awalnya,
pada hari Rabu 28 November 2012 kemarin saya diminta untuk mengisi materi
diskusi. Tepatnya menemani diskusi bersama anak-anak Marakomunity.
Karena lama tidak bergelut dengan hal yang demikian, maka saya modifikasi
tulisan saya waktu dulu, ditambah buka-buka buku kembali, hasilnya seperti
berikut, Modernus.
Bagi
saya pribadi, bersyukur juga, diundang untuk menemani mereka berdiskusi, paling
tidak memberi waktu kepada saya untuk melihat kembali apa yang telah dipelajari
dahulu. Lebih-lebih, lama juga tidak bergelut dengan wacana yang berkembang
saat ini, menjadi semacam dorongan untuk mempelajari lebih dalam apa-apa yang
tengah berkembang dalam memahami kehidupan. Memahami kehidupan untuk sekedar
melihatnya, menganalisisinya, terlebih mampu melihat apa yang sekarang ini
untuk bagaimana cara diri mengada.
Modernus
Modernisasi menandai babak baru bagi peradaban manusia. Perubahan-perubahan besar di satu sisi membantu manusia,
disisi lain membelenggu manusia dari hasil produk peradabannya. Masyarakat
modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai
budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban masa kini.
Istilah
modern barasal dari bahasa Latin akhir abad ke-5 M. Modernus digunakan
untuk membedakan keadaan orang Kristen dengan orang Romawi dari masa paganisme.
Setelah itu, istilah tersebut digunakan untuk menempatkan kondisi masa kini
dalam hubungan dengan berlalunya zaman purbakala. (dalam Briyan Turner, 2003: 29). Secara harfiyah, istilah modern mengacu
pada pengertian “sekarang ini, atau yang baru”. Sedangkan pengertian modernitas
yaitu pandangan dan sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini
yang banyak dipengaruhi oleh peradaban modern. (Nurckolish Madjid dkk, 2007: 145).
Modernisasi
mengandung arti gerakan untuk merubah cara-cara kehidupan lama menuju model
kehidupan yang baru. Sedangkan modernisme adalah paham, gerakan, pikiran,
tindakan, dan usaha-usaha lainnya untuk mengubah paham lama ke paham yang baru.
Keadaan baru ini ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu istilah teknis ilmiah. Perkembangan istilah tersebut
tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban Eropa. Istilah modern berkaitan
arat dengan Eropa abad pertengahan, Rennaisance, Aufklarung, hingga mencapai
puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20.
Abad pertengahan (600-1400) yang dikuasai cara berpikir
gaya Gereja, dimana faktor iman dan kepatuhan kepada otoritas gereja.
Berdasarkan pengertian umum, Renaissance (1350-1600) atau Pencerahan
adalah segala usaha manusia untuk membebaskan diri dari ketakutan dan
menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Upaya pembebasan ini dengan
menggunakan kemampuannya sendiri, yaitu rasionya. (F. BudiHardiman, 2009: 51& 67). Sindhunata
mengutarakan bahwa; dunia tepatnya dunia Barat dan filsafatnya, pernah ditandai
dengan zaman Aufklarung, zaman dimana manusia menghinggap dalam
optimisme. Bahwa ia dapat mengatasi segala yang membelenggu dirinya, termasuk
ketakutan dan kekhawatiranya. (Sindhunata, “Vertigo
Modernitas” dalam Basis, 2010: 6).
Puncak peradaban barat demikian itu pada gilirannya
mempengaruhi segala macam kehidupan manusia. Nurckolish Masjid dalam Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan (1997: 172) mengungkapkan bahwa;
Pengertian yang mudah tentang
modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik dengan
pengertian rasionalisasi. Dalam hal ini berarti proses perombakan pola pikir
dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna
dan efisiensi yang maksimal.
Disinilah problem itu muncul, ditengah masyarakat yang tidak terlalu menghiraukan
kehidupan untuk menjawab atas persoalan-persoalan metafisis. Tentang eksistensi
dan manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di jagat raya ini.
Kecenderungan ini terjadi karena proses rasionalisasi yang menyertai
modernisasi telah menciptakan sekularisasi kesadaran. Akibatnya memperlemah
fungsi agama dari kehidupan para pemeluknya dan menciptakan suasana
ketidakberartian hidup pada diri masyarakat modern. (Peter L. Berger, 1991: 146).
Permasalahan
dalam masyarakat modern juga terjadi dalam diri manusia. Bahwa di dalam
masyarakat modern yang berteknologi tinggi, manusia menghadapi mekanisme kerja.
Alat-alat produksi baru yang dihasilkan oleh teknologi dengan proses
mekanisasi, otomisasi dan standarisasi. Ternyata menyebabkan manusia cenderung
menjadi elementer yang mati dari proses produksi. Teknologi yang sesungguhnya
diciptakan untuk membebaskan manusia dari kerja ternyata telah menjadikan alat
perbudakan baru. Singkatnya, ia telah memperbudak manusia, sekedar menjadi otomat dari proses produksi. Memperbudak
masyarakat untuk mengkonsumsi kebutuhan-kebutuhan semu yang diproduksi oleh dirinya sendiri.
Pada kelompok sosial tertentu terjangkit masalah
keterasingan atau alienasi. (dalam Richard Schacht, 2009: 12). Alienasi muncul
dikala kejenuhan menghadapi mekanisasi, otomatisasi dan standarisasi
sebagaimana sebuah mesin. Keterasingan ini tidak hanya pada diri sendiri,
tetapi juga pada lingkungan sosial dan Tuhannya. Konsekuensi selanjutnya
terjadi displecement (disposisi, salah penempatan). Ketika itu pula
kehidupan selalu dikaitkan dengan persoalan untung rugi, siapa memperoleh apa
dan manusia menjadi sangat pamrih. (Ahmad Syafi’i Ma’arif & Said Tuhuleley,
1996: 111).
Berakhir disini
Barangkali
ada hal yang bisa dipetik dari tulisan di atas. Saya pikir begini itulah
kehidupan sekarang ini, atau malah telah melampaui dari yang sekarang. Ada hal
yang luput dari perhatian, jangan-jangan saya atau kita sekalipun tengah berada
dalam arus. Arus yang menghendaki untuk menggunakan rasionya dalam menjalani
hidup. Kalau pun tidak ‘merasa’ berada dalam arus, padahal kita hidup dalam
dunia yang sama, lantas bagaimana untuk menyikapinya?. Saya sendiri pun tak
habis pikir, kemana arah selanjutnya. Apakah manusia itu akan kembali pada
zaman jahiliyah dengan sentuhan modern?, atau justru tenggelam lebih dalam ke
dalam arus modernitas/post-modern/apalah namanya?. Yang jelas, jangan kemudian
kenyataan demikian membikin menggelepar tak berdaya diri yang rasional.
Komentar
Posting Komentar