Berbicara
tentang asal segala sesuatu, berarti akan merunut kebelakang, jauh memasuki
jagat terdalam. Terdalam dari asal itu sendiri, untuk sampai menemukan inti
pembentuk yang asal.
Seperti ajaran Thales (640-550
SM) segala sesuatu berasal pada air dan berakhir pada air. Anaximenes (588-542
SM) asal mula sesuatu adalah udara. Heraklitos(535-542 SM) bahwa
semuanya berasal dari api. Empedokles (490-435 SM) gagasan
pokok merupakan perpaduan empat anasir yakni udara, api, air dan tanah adalah
sebagai asal segala.
Gagasan para filosof
pra-Sokratik, menandai babak filsafat alam dalam menjelaskan segala sesuatu. Pemikiran para filosof Yunani
kuno itu mencapai puncaknya pada Demokritos (460-370 SM),
bahwa seluruh realitas adalah atomos (a: tidak
dan tomos: terbagi). Begitu juga dengan jiwa manusia. Jiwa terdiri
dari atom-atom. Seluruh realitas direduksi menjadi unsur kwantitatif saja,
yakni atom-atom. Atas dasar atomisme Demokritosmembedakan
pengenalan inderawi dengan pengenalan rasional. Pengenalan inderawi itu tidak
benar, karena tidak mampu mengamati atom-atom. Sedangkan pengenalan rasional
memperkenalkan kenyataan yang sebenarnya. Keberhasilan kedua sudut pandang ini
mempelopori ilmu pengetahuan alam yang modern. (K. Bertens, 1979, 64).
Melompat pada perkembangan modern
sekarang menjadi babak baru dalam melihat kenyataan. Ketika semua telah
dikalkulasikan sebagaimana dalam ilmu alam. Ilmu alam diyakini telah berhasil
menjelaskan segala sesuatu. Kekuatan observasi, pengamatan dan verifikasi yang
memungkinkan kebenaran tak dapat disangkal. Kebenaran yang dicapai oleh ilmu
alam, ternyata kini juga dipergunakan dalam melihat, mengamati sosial
kemasyarakatan.
Berakar dari positivisme, entitas
kematerial yang menyelimuti manusia dalam rangka melangsungkan hidup dapat
diketahui. Diketahui kematerialan sebagaimana dalam ilmu alam. Lebih memuaskan
lagi bahwa, apa yang terjadi pada manusia berserta sosialnya, teryata sama
dengan kejadian pada alam. Proses yang terjadi antarkeduanya sama.
Proses itu terjadi ketika sudah
diabstraksikan, diobjektifikasikan dan di’reifikasi’ (di-benda-kan, mamakai
istilah George Lukacs), maka wilayah manusia sudah lepas dari dunia penghayatan
batin manusia. Menjadi wilayah material yang mekanis. (F. Budi Hardiman, 2010,
26).
Keadaan Luaran yang
Menentukan
Berlanjut pada konsepsi
materialis dimulai dari proposisi tentang produksi (alat-alat yang menopang
kehidupan mansuia) dan produksi sesudahnya. Yaitu pertukaran barang-barang yang
diproduksi. Konsepsi demikian menjadi dasar kemunculan seluruh masyarakat dalam
sejarah. Dasar tentang bagaimana kekayaan didistribusikan dan masyarakat
terbagi ke dalam kelas-kelas. Dasar dimana organisasi tergantung pada apa yang
diproduksi. (dalam Deepa Kumar, 2012: vi).
Jadi, perubahan itu bukan lahir
atas kedasaran manusia, tetapi disebabkan oleh kondisi luaran. Kondisi luaran
yang mempengaruhi kesadaran. Bukan kesadaran manusia yang menentukan, tetapi
kondisi sosial, ekonomi yang menentukan.
Semisal, koruptor meraja dalam
panggung politik. Lantaran begitu mudahnya para (poli)tikus bermain di
kekuasaan. Mengatur, mengendalikan sampai memutus untuk kepentingan kantong
sendiri, partai bisa mudah dijalankan. Hukum berjalan berbelit, seling
sengkarut persoalan hukum tercebur pada ranah politik. Mana politik mana hukum,
wilayahnya abu-abu.
Ketika semua bisa dipolitisasi,
hukum pun bisa saja. Main adu kekuatan, dukungan sampai uang dan kekuasaan.
Siapa berkuasa menentukan kondisi disekelilingnya. Perilaku korup terjadi,
sebab kondisi luaran menciptakan demikian. Secara subjek, (poli)tikus syukur
kalau ada yang sadar, perbuatan demikian itu melanggar hukum, merugikan negara,
mengkhianati rakyat. Tetapi, lantaran ruang dan suasana yang mendukung,
mencipta perilaku demikian. “Jangan sok bersihlah”, begitu gumam sang
(poli)tikus.
Lain yang terjadi pada aras
bawah. Protes terjadi dimana-mana. Semua ingin masalah yang dihadapi ada jalan
keluar dengan segera. Mahasiswa, Buruh, Kelompok Massa, berbasis Keagamaan,
semua mewarnai perjalanan negeri. Menyuarakan kondisi yang dihadapi. Lalu,
dimana negara? Dimana sang pemimpin? Dimana sang wakil?
Apakah dengan duduk-duduk di
ruang sidang ber-AC, berkunjungan keluar negeri, bisa menjadi jalan keluar.
Jalan keluar persoalan negeri. Mana mungkin bisa. Kalau tidak dilakukan dengan
tindakan praksis. Kondisi membutuhkan kehadiran. Membutuhkan wujud kongkrit.
Bukan retorika dan bukan karena ketiadaan anggaran.
Perilaku korup dan massa bergerak
menjadi gambaran kondisi luaran yang menjadi bentuk kesadaran manusia. Manusia
bisa bekehendak, namun kehendak itu ditentukan oleh faktor sosial dan ekonomi.
Diri yang bergerak, hanya praktek dari serapan faktor luaran. Bukan secara
sadar melakukan.
Coba, bagi para politikus mulai
dengan kesadaran keyakinaannya. Bagaiamana anda itu beribadah, dengan anda
duduk dikursi kekuasaan. Bagaimana bisa beda, niat dan tindakan. Secara
kesadaran keyakinan, perilaku korup jelas terang benderang, DILARANG!. Tapi
kenapa masih berbuat? Ini bukti, kesadaran manusia bukan terlahir dari
kesadaran diri, tapi disebabkan oleh kondisi luaran.
Para pemimpin dan wakil rakyat.
Coba anda bayangkan, bagaimana kalau posisinya sekarang dibalik. Anda yang
terhormat sekarang menjadi rakyat biasa. Bisakah merasa ketika posisinya tidak
harus dibalik. Bisakan anda itu mengerti bagaimana itu miskin, tanpa harus
menjadi miskin yang sebenarnya sama seperti rakyat kebanyakan. Bisakah berbuat
tanpa tedeng aling-aling, citra, pengharapan dan popularitas. Bisakan anda itu
benar-benar sebagai sang pemimpin dan wakil rakyat bagi yang dipimpin dan yang
diwakili. Pemimpin ada karena ada yang diwakili. Negara ada karena ada rakyat.
Belajar mengerti asal, berarti belajar posisi diri.
Ketika berpolitik dan bernegara
mana kira-kira yang anda kerjakan untuk rakyat. Berfasilitas mewahkah?. Bergaji
berlimpahkah?. Atau karena haus kekuasaan dan materi?.
Wahai
para penguasa negeri. “Bekerja itu seolah akan hidup seribu tahun lagi.
Beribadah itu seolah besok kematian menghampiri.”
Komentar
Posting Komentar