[Novel] Revolusi Bermula Dari Lambung Kapal


Novel
Judul: Kani Kosen: Sebuah Revolusi
Penulis: Kobayashi Takiji
Penerbit: Jalasutra, 2013
Tebal: ix + 182 halaman
ISBN: 978-602-8252-83-6

Pandangan Karl Marx tentang (dalam tubuh) masyarakat, ada kelas proletar dan ada kelas borjuis, sebagai representasi masyarakat, mengilhami dalam banyak hal. Salah satunya misalnya dalam bentuk karya sastra Kobayashi Takiji. Perjuangan kelas mengalir deras di dalam novel Kani Kosen: Sebuah Revolusi. Karya seorang pejuang proletariat yang mati muda (1903-1933). Kobayashi mengangkat sebuah revolusi di kapal Kani Kosen pada tahun 1920-an.

Kapal Kani Kosen adalah sebuah kapal penangkap kepiting. Tidak hanya menangkap kepiting di laut Kamchatka, Jepan, kapal ini sekaligus sebagai pabrik pengolahan. Sebagai pabrik sekaligus, tentu membutuhkan banyak pekerja. Pekerja yang bekerja empat sampai lima bulan di laut. Tantangan cuaca harus meraka rasai, ditambahi pula kesewenang-wenangan mandor kapal, Asakawa.

Keseharian para kelasi kapal, yang rata-rata berumur masih sangat terbilang muda, lima belas sampai enam belas tahun, tergambar mengenaskan. Mereka harus merasakan amukan sang mandor. Dalam ruangan yang pengap, pesing, berkutu, sebagai “pispot korotan” tempat meraka tinggal, para kelasi yang berjumlah sekitar tiga ratus orang, tiada henti dari cacian dan siksaan, ketika di dapati oleh mandor, tidak becus dalam bekerja.

Mandor yang seolah “Dewa”, mengatur, memaksa dan menyiksa sekaligus para kelasi yang “berasal dari golongan masyarakat miskin di Hokatade” seolah sebagai jongos, terwakili siapa diri mereka. Dalam terminologi politik, ekonomi, sosial Taisho Demokurasi, kurun waktu 1912-1932-dalam kata pengantar oleh I. Ketut Surajaya-mereka ini mewakili dua kelas. Yaitu kelas borujiaji (kaum borjuis) dan musankaikyu (kelas proletar) dalam arus utama shihonshugi (kapitalisme). (hlm. vi).

Novel yang mengisahkan kesengasaraan hidup para kelasi dan kekuasaan sang mandor. Bahkan, mati pun, “tidak ada waktu” untuk menguburkannya. (hlm. 92). Dari sini, bisa diketahui bagaimana kenestapaan mendera para kelasi. Sampai suatu ketika para kelasi protes, mogok kerja. Diawaki oleh “para provokator”, salah seorang kelasi bekas pelajar, si gagap, kadet, nelayan Shibaura dan si sombong. Mereka memberikan orasi di depan para  kru. (hlm. 167).

Revolusi pun dimulai. Orasi mereka sampaikan untuk mengorganisir massa. Massa yang akhirnya mampu memberi pelajaran kepada mandor. Kesadaran para kelasi muncul, mula-mula ketika mereka bertemu dengan orang Rusia, yang ketika itu sedang ramai tentang “komunis”, juga ketika sehabis menonton film yang putar di “pispot kotoran”, dan puncaknya ketika ada salah seorang kelasi mati disiksa.

Dalam keterangan sampul novel, ada cap bundar berwarna putih, melingkar tulisan; pada lengkung bagian atas tertera sastra proletar dan lengkung bagian bawah tertera Jepang. Bagian tengah tertulis Best Seller. Baru pada tahun 2008, novel ini populer di Jepang. Sementara publikasi karya tahun 1929. Menarik membaca novel ini, namun sayang, tak nampak kesesuaian dalam menerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, apalagi untuk memahami kondisi yang terjadi ketika itu. Kondisi dimana revolusi bermula dan bergerak dari lambung kapal.

Novel Kobayashi Takiji secara lugas menampakkan perjuangan kelas proletar. Kehadiran novel bercap sastra proletar Jepang ini, tergambarkan bagaimana para kelasi sebagai pekerja, bersusah payah, berjuang demi hidup. Tetapi demi industri, kapal sebagai alat produksi, pun dituntun untuk mendulang muatan terus-menerus. Berupa kepiting sebagai bahan baku pabrik. Dengan begitu proses produksi berjalan, dan keuntungan didapat pemilik alat produksi.

Para kelasi merasakan dengan sangat, perlakuan yang tak memberi celah sedikit waktu untuk merebahkan badan yang remuk kerja sepanjang hari. Akibat perlakuan sang mandor, kesadaran atas keberadaan diri, sebagai kelasi, mendorong untuk bersatu padu, menghimpun kekuatan, melawan sang mandor, milik kelas borjuis. Perlawanan pada awalnya hanya terbilang berhasil sementara waktu, secara demonstratif. Tetapi, lambat waktu tersiar pula di kapal-kapal penangkap kepiting serupa. Akhirnya revolusi meletup di tiga kapal, dan perjuangan kelas pun terlampaui. Pandangan Marx atas masyarakat (kelas), memang tak nampak tertulis dalam cerita. Namun, kesan perjuangan kelas Marx mengalir deras dalam cerita. Memberikan arti, ketika itu, tahun 1920-an, struktur kelas dalam sejarah masyarakat berpengaruh luas, sekaligus juga mempengaruhi keadaan untuk sebuah revolusi.

Komentar