Sejak lahir hingga dewasa saat ini, barangkali kepercayaan kepada Yang
Maha Atas Segalanya bukan menjadi persoalan yang pelik. Barangkali pula
dianggap sebagai sesuatu hal yang biasa-biasa saja. Namun, bila meninjau lebih
jauh dan dalam, bagaimana sebenarnya kepercayaan itu bisa dimengerti,
dipercayai, diimani tentu saja ada dan perlu penjelasan yang bisa menjelaskan, ketika
pernyataan-pertanyaan yang mempertanyakan apa/siapa/sesuatu itu Yang Maha Atas
Segalanya muncul, butuh jawaban pasti.
Keyakinan manusia atas sesuatu Yang Maha Atas Segalanya, bisa jadi
mula-mula timbul tak tersadari oleh manusia itu sendiri. Dalam artian bahwa
kepercayaan manusia kepada Yang Maha Atas Segalanya memang sudah ada begitu
saja. Terberi begitu saja. Menerima begitu saja. Sudah dari sananya. Tidak ada
pernyataan lebih lanjut. Tidak lagi menanyakan bagaimana keyakinan itu
benar-benar bisa terjelaskan kepada diri atau orang lain yang menanyakan
tentang Yang Maha Atas Segalanya itu.
Bila meninjau sebelum adanya agama (Monoteisme) yang mengajarkan
tentang jalan hidup manusia- homo
religius-yang secara asali (fitrah) bisa dikatakan cenderung mempercayai
apa atau sesuatu yang dianggap sebagai apa atau sesuatu yang istimewa, luar
biasa, dahsyat, diatas atas segalanya, sebagai Tuhan. Jauh ke dalam belantara
sejarah, akan didapati bagaimana manusia mencoba mengartikulasikan tentang Yang
Maha Atas Segalanya itu dengan berbagai cara, dengan berbagai kisah, dengan
berbagai tingkah polah yang semua menunjukkan kepada yang dimaksudkan, yaitu Yang
Maha Atas Segalanya.
Pengalaman tentang Yang Maha Atas Segalanya, biasanya
diekspresikan dengan semacam ritual. Ritual disini diartikan sebagai ritus atau
peribadatan yang menunjukkan bagaimana cara-cara yang dilakukakan adalah cara
berhubungan, berkomunikasi, sesuai dengan kehendak Yang Maha Atas Segalanya.
Tentu saja kehendak orang yang melaksanakan ritus itu adalah kreasi yang bisa
saja lahir begitu saja, teradaptasi dari alam dan kenyataan, terpengaruhi
secara natural, ataupun warisan dari nenek moyang mereka.
Penjelasan mengenai bagaimana Yang Maha Atas Segalanya bisa
dimengerti terjelaskan dengan cerita atau dongeng sebagai mythos. Penjelasan ala mythos
dalam sejarah tidak selamanya perlu masuk diakal, ada buktinya, ada adanya.
Paling jelas bahwa mythos tak seperti
logos (nalar). Meletakkan mythos sebagai penjelas tentang Yang
Maha Atas Segalanya biasanya bersandar pada kealaman, berwujud seperti gunung,
batu dan lain sebagainya. Kemudian berubah menjadi dewa-dewa yang menguasai
jagad raya. Gunung, batu, dewa-dewa itu yang dimaksud sebagai sesuatu Yang Maha
Atas Segalanya. Dengan kata lain, yang tersebut itu adalah intrepretasi tentang
Tuhan. Tuhan dalam pengertian mythos.
Dalam perkembangan mythos
tentang Yang Maha Atas Segalanya, kadang berganti, berubah, malah juga terjadi pemakzulan
secara mitologis. Misalnya dalam mythos
Yunani, Tuhan Tinggi Uranus (Langit) secara brutal dikebiri oleh putranya,
Kronos. Kronos ini nantinya digulingkan oleh anaknya sendiri, Zeus. (Karen Armstrong,
2011: 67).
Ketika mythos
menjelaskan tentang segala hal, tanpa terkecuali tentang Yang Maha Atas Segalanya,
secara logos, jelas tidak bisa
dijadikan pegangan. Logos yang
menyandarkan kepada yang akhliyah,
mengedepankan akal sebagai ujung tombak verifikasi, menjadikan mythos runtuh. Mythos oleh logos menjadi
tak berdaya apa-apa.
Kemudian logos
menggantikan mythos. Dari yang
berdasarkan cerita atau dongeng (mythos)
tentang penguasa atas segalanya, kemudian beralih menjadi sesuatu yang
terformat secara logos. Sebelum logos menjelaskan tentang Yang Maha Atas
Segalanya. Ketika itu yang menjadi perhatian manusia adalah tentang alam
semesta. Dari mana asal alam semesta ini?. Misalkan, Thales mengatakan berasal
dari air. Anaximenes, asal itu, acrhe
dari udara. Anaximander menyebut entitas itu aperion, “yang tak terbatas”. (Karen Armstrong, 2011: 118).
Sampai disini, pengalaman kepada Yang Maha Atas Segalanya diatas, dalam
rentang sejarah, terbatas oleh ruang dan waktu. Dimana sejarah itu sendiri
menjalar dalam periode waktu tertentu, yang telah lampau. Maka bisa jadi hal
diatas baik mythos dan logos tak lagi berkesesuaian dengan
kekinian dan seterusnya. Tetapi tidak juga sepenuhnya demikian. Ada kalanya mythos sampai sekarang masih diyakini. Begitu
juga dengan yang logos, sekalipun
yang logos telah mencapai puncak
dengan lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka untuk membaca pengalaman
kepada Yang Maha Atas Segalanya, jika berangkat dari sejarah, berarti apa yang
kemudian tersampaikan, terbaca sebagai pengalaman. Pengalaman-pengalaman dalam
sejarah, bagaimana manusia mengenai tentang Yang Maha Atas Segalanya dengan cara
dan ritual pada waktu itu.
Sekarang, giliran kepada diri kita sendiri, disini dan saat ini.
Mempertanyakan bagaimana pengalaman Yang Maha Atas Segalanya itu bisa
terjelaskan. Bagaimana diri ini bisa memahami tentang Yang Maha Atas Segalanya
sebagai Tuhan yang disembah?. Apakah Tuhan itu Ada? dan banyak lagi. Lebih
tepatnya mempertanyakan tentang eksistensi segala sesuatu.
Dalam sistem keyakinan ada beberapa gagasan yang bisa dijadikan
sebagai cara dalam menjelaskan tentang eksistensi segala sesuatu. Misalkan, sistem keyakinan yang obyeknya didasarkan pada sesuatu yang nyata.
Kebenaran diukur melalui indera dan pengalaman. Sistem ini disebut kebenaran
ilmiah. Sistem keyakinan yang didasarkan pada
doktrin literal. Sistem ini dapat ditemukan dalam semua agama. Pada dasarnya,
sistem keyakinan literal mengingkari arti pentingnya akal sebagai sarana
verifikasi kebenaran. Jelas,
kedua sistem keyakinan ini memiliki kelemahan. Bagaimana bisa, bila tidak
teramati secara inderawi dan tidak terjadi dalam pengalaman dan tidak ada dalam
literatul bagaimana bisa apa yang dikatakan sebagai sesuatu yang Maha Atas
Segalanya ada?.
Tidak bisa
kemudian, bila alat yang digunakan, atau sistem keyakinan yang digunakan banyak
mengandung kelemahan dan kekurangan. Ada baiknya juga bila berbicara tentang
sesuatu tidak berangkat dari sejarah. Sebab apa? Sebab sejarah menghendaki
bukti. Kalaupun bisa diketahui bukti, akan kembali seperti mythos juga pada akhirnya penjelasan itu.
Berbicara tentang
eksistensi berarti berbicara tentang keberadaan, tentang ada itu sendiri ada
atau tidak. Bila semua ada, berarti ia eksis. Bila ada yang tidak ada,
memangnya ada yang tidak ada itu ada?. Sementara ini saja, masih banyak yang perlu diperbincangkan
Daftar Pustaka:
Armstrong, Karen,
2009, Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan
______________ ,
2011, Masa Depan Tuhan, Bandung:
Mizan
Komentar
Posting Komentar