Membaca Masyarakat (Islam) Dewasa Ini

Dalam budaya pramodern, Yunani, mythos dan logos adalah dua cara memperoleh pengatahuan yang diakui. Mitos, bukanlah fantasi sekehendak hati; melainkan, seperti logos, ia membantu orang untuk hidup ditengah dunia yang membingungkan, meskipun dalam cara yang berbeda.[1] Karena dengan cara yang berbeda itu, yang mengandai-andai, bagi logos tidak ilmiah. Mitos bertolak belakang dengan logos yang menggunakan cara berfikir ilmiah. Logos (“nalar”) lantas menelanjangi mitos, bahwa dasar dalam menjelaskan segala yang diterangkan lewat mitos tidak masuk diakal. Runtuhlah mitos. Babak baru pun mulai. Melalui rasio, inilah tanda budaya abad modern, babak setelah pramodern. Istilah modern barasal dari bahasa Latin: modernus, akhir abad ke-5 M. Secara harfiyah, istilah modern mengacu pada pengertian “sekarang ini, atau yang baru”. Sedangkan pengertian modernitas yaitu pandangan dan sikap hidup yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini yang banyak dipengaruhi oleh peradaban modern.[2]

Melacak modernisme bisa ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 M sampai Pencerahan abad ke-18 M[3], hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20. Ditandai oleh mulai diyakininya rasio; diktum cogito ergo sum, keberanian menghadapi kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas, serta lahirnya pemberontakan kreatif dalam dunia seni.[4] Berikut juga keberhasilan dalam ilmu-ilmu alam, coba diterapkan dalam memahami masalah sosial, positivisme. Apa yang kemudian dihasilkan oleh positivisme adalah sebagai potret tentang fakta sosial yang bebas nilai, value-free.[5] Dari sini bisa dilihat, bagaimana fakta sosial yang disajikan dari bawaan modernisme itu. Bagaimana positivisme membaca kesalehan seseorang?, misalnya. Apakah ketika seseorang itu sudah ber-Haji, berpakaian baju koko, gamis ala Timur Tengah, bersorban, sarungan, berkopyah, ada semacam tanda kehitam-hitaman pada jidad. Semua ini hanyalah atribut semata, tanda yang melekat. Bentuk-bentuk luaran yang bisa diketahui secara kasat mata. Sedangkan kesalehan seseorang tidak sesederhana itu, hanya menilai dari tampilan yang terlihat.

Ketika modernisme hendak membebaskan manusia dari belenggu dogmatisme, penguasaan manusia atas alam, justru didapati patologi. Patologi manusia-manusia tanpa referensi rasional yang jelas, tanpa acuan. Dalam bahasa Jean Baurdrillard, tengah berada dalam simulasi[6], realitas dari masyarakat hiperalitas, masyarakat postmodernisme. Memotret kehidupan masyarakat kekinian layaknya nontonan layar fiksi tetapi faktual dalam ruang khayali tetapi nyata. Mana yang real dan semu, bercampur baur, tumpang tindih, berkelindan. Silang sengkarut itu terjadi, ketika acuan segala sesuatu hilang. Sebab terjadi penggandaan duplikasi dari duplikat realitas. Semuanya kini menjadi komoditas, ditandai oleh budaya massa, budaya populer, budaya media massa, serta consumer society.

Masyarakat postmodernisme sebagai consumer society, membikin kehidupan bukan lagi soal mana yang lebih utama atau tidak. Tetapi lebih mengutamakan mana yang bisa menampakkan pada subjek, sekalipun hal itu merupakan kebutuhan sekunder. Kebutuhan dari apa-apa yang termaknakan dan tersimbolkan dari barang sesuatu. Sehingga barang-barang kebutuhan sekunder menjejel masuk menjadi kebutuhan pokok yang sama pokoknya. Nilai barang-barang yang semula ditentukan oleh kenaturalan barang sebagai nilai guna dan kesepakatan dalam menilai nilai guna sebagai nilai tukar, berubah menjadi nilai makna dan nilai simbol sebagai wujud kehadiran dari apa yang dikenakan, dimakan dan tersemat pada tubuh. Lalu apa yang ia kerjakan dan lakukan menjadi cuplikan kisah kehidupan dari kehidupan masyarakat, yang mengalami penyakit dari modernisme.

Kebudayaan[7] postmodernisme sebagai gambaran dari perkembangan kapitalisme lanjut, penggerak realitas bukan lagi pada produksi sebagaimana pemikiran Marx, yakni nilai guna dan nilai tukar. Tetapi konsumsi sebagai faktor dominan yang menggerakkan, menjadi nilai tanda dan nilai simbol. Sebagai objek konsumsi berupa komoditas, menjalar ‘berkat’ capaian era modern, ilmu pengetahuan dan teknologinya. Semua mampu dikalkulasikan, direifikasi oleh capaian era modern itu. Lewat “televisi, film, iklan, Doraemon, Mickey Mouse, Disneyland, Las Vegas, Beverly Hills, Universal Studio, kini menjadi model-model acuan dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan sosial, budaya, politik masyarakat dewasa ini.”[8] Semua coba dikemas menjadi tontonan yang menghibur, menarik, sekaligus juga mengajak. Di sana ada nilai etis yang diajarkan, kebijaksaan, kesempurnaan, kepahlawanan bahkan kebaikan. Semua diformat sedemikian rupa, agar seperti yang ditonton dan yang digambarkan, itulah realitas[9].

Membaca hal ihwal masyarakat, sangat terkait dengan cara pandang tentang masyarakat itu sendiri, yang selanjutnya dari cara pandang didapati gambaran kehidupan umat (komunitas, sistem sosial). Pandangan tentang masyarakat, terutama para sosiolog, paling tidak ada tiga sudut pandang, yakni yang mengakui individu an sich, masyarakat itu sendiri, dan kesadaran kelas. Tetapi menurut Murthadha Muthahari, tidak hanya itu, ia menyebutkan ada empat sudut pandang. Ketiga pandangan diawal tidak mewakili sepenuhnya eksistensi individu dan masyarakat sekaligus dan dinamika antar keduanya. Maka, pandangan keempat-lah yang tepat, seperti berikut ini.

Pertama, pandangan bahwa masyarakat merupakan individu-individu yang tercerai berai satu sama lain; yang eksis hanyalah individu-individu, masyarakatnya hanyalah bentukan epifenomenal. (J. Sruart Mill, Herbert Spencer). Kedua, pandangan bahwa masyarakat seperti satuan/organisasi mekanistik di mana keseluruhan dianggap sama dengan jumlah bagian-bagiannya. (Positivisme August Comte, rasionalitas-instrumental Max Weber). Ketiga, pandangan bahwa masyarakat merupakan senyawa sejati yang telah meleburkan sama sekali kebebasan dan keunikan individu dalam entitas tunggal; yang sejati hanya masyarakat, kesadaran bersama, perasaan dan kehendak bersama dibawah kendali kesadaran kelas. (Karl Marx). Keempat, bahwa masyarakat merupakan sistem organis yang memiliki hukum-hukum kemasyarakatan sendiri, namun tanpa meleburkan individu-individu sama sekali dalam entitas tunggal fisik; bahwa individu dan masyarakat adalah sejati; sintesis yang terjadi pada dinamika kemasyarakat bersifat kebudayaan, kemanusiaan.[10]

Dalam mencermati perkembangan sejarah masyarakat[11], tanpa terkecuali masyarakat Islam, dalam perjalanannya memunculkan keterpisahan pelbagai peran. Ketika berpijak pada kondisi-kondisi material (Materialisme Historis), bahwa sejarah terjadi bukan dari dalam (gagasan) manusia itu sendiri, tetapi dari kondisi luaran (kondisi-kondisi material) membentuk manusia yang menyejarah. Peran yang dulu diampu oleh Muhammad, da­lam perjalanannya menurut kenyataan (secara de facto) mulai terpisah. Sewaktu masih hidup, semua peran utuh berada pada diri Muhammad, baik urusan agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Pasca-Nabi wafat, muncul beragam konflik. Dari pasca wafat Nabi itulah peran mulai terpisah, terbagi.

Menurut Deepa Kumar, keterpisahan ini terjadi dilihat dari kondisi-kondisi material yang melatar belakangi perkembangan sejarah masyarakat Islam, ditandai dengan munculnya islam politik serta semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam. Islam politik, menurut Kumar kembali, “mengacu pada jajaran kelompok yang telah terbentuk berdasarkan sebuah reintepretasi atau penafsiran kembali Islam untuk melayani tujuan-tujuan politik secara khusus.”[12] Jika hal ini dikembalikan kepada masyarakat Islam kontemporer saat ini, ada begitu banyak kelompok-kelompok, yang satu sama lain mempunyai tafsir atas Islam. Maka bisa dilihat bagaimana kelompok-kelompok ini merepresentasikan diri sebagai kelompok, berlipat pula representasi itu adalah seolah-olah sebagai wakil dari Islam. Bila kemudian hal ini diamini, akan sangat mengurangi esensi dari Islam itu sendiri. Islam sebagai ajaran, way of life, tercebur dalam arena tafsir yang sejatinya tafsir itu untuk dan oleh kepentingan kelompok tertentu saja. Barangkali inilah wajah Islam dalam kehidupan masyarakat (Islam) itu, tampil dalam wajah islam politik.

Wallahu a’lam.


[1] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, (Perj. Yuliani Liputo),  Bandung: Mizan, 2011, hlm. 12.
[2] Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Dalam hal ini berarti proses perombakan pola pikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Untuk lebih lanjut lihat Nurckolish Masjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 147 & 172.
[3] Berdasarkan pengertian umum, Renaissance (1350-1600) atau Pencerahan adalah segala usaha manusia untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Upaya pembebasan ini dengan menggunakan kemampuannya sendiri, yaitu rasionya. Untuk lebih lanjut lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 51 & 67.
[4] Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard, Yogyakarta: Jalasutra, 2012, hlm. 20-21.
[5] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 23.
[6] Analogi mengenai simulasi seperti peta. Namun peta yang dibuat lebih dulu, tanpa memandang dimana gambaran peta yang timbul merupakan kondisi sebuah wilayah. Jadi, guratan gambar tanpa acuan pada sebuah peta terbentuk terlebih dulu, baru kemudian wilayah yang dipetakan benar seperti adanya pada peta. Dengan kata lain, bayangan wujud itu lebih dulu dan membentuk, ketimbang real-realitas. Dalam bahasa Baudrillard (Simulations, 1983: 32), “...Teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan simulakra petalah yang membentuk teritori...”.
[7] Van Peursen, misalnya, mencoba memetakan perubahan-perubahan kebudayaan secara filosofis ke dalam tiga kategori pola: kebudayaan mitis, kebudayaan ontologis dan kebudayaan fungsional. Pitirim Sorokin memetakannya juga dalam tiga pola:  kebudayaan ideasional, kebudayaan campuran dan kebudayaan indrawi dalam proses historisnya bersifat singuler. August Comte: kebudayaan religius, kebudayaan metafisik dan kebudayaan positif. Untuk lebih lanjut lihat K.J. Veeger, Realitas Sosial, Jakarta: Gramedia, 1985, hlm. 20-23.
[8] Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Yogyakarta: Jalasutra, 1998, hlm. 194.
[9] Baudrillard merasa bahwa realitas sudah mati, dan kita hidup di dunia Disney hiper-realitas yang luas. Hiper-realitas adalah keadaan di mana tanda-tanda memiliki kehidupannya sendiri lepas dari realitas dan mengembang bebas. Tanda merupakan refleksi dari realitas. Untuk lebih lanjut lihat, Kevin O’donnell, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 45.
[10] Husain Heriyanto, “Dari Visi Menuju Aksi Perubahan”, dalam Fritjof Capra, The Hidden Connections Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru, (Penj.) Andya Primanda, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, hlm. xv.
[11] Perkembangan sejarah masyarakat, bagi Baurdrillard, berbeda dengan periodisasi Marx: masyarakat feodal, masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Menjadi masyarakat primitif, hirarkis dan masyarakat massa. Untuk lebih lanjut lihat Medhy Aginta Hidayat, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard, hlm. 13.
[12] Deepa Kumar, Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis, (Penj.) Fitri Mohan, Yogyakarta: Resist Books, 2012, hlm. 3.

Komentar