Menjawab Waktu Subuh

Waktu Subuh, darinya dapat mengidentifikasikan beberapa hal, baik itu terkait dengan persoalan peribadatan maupun persoalan lainnya yang bertemali terikat. Salah satunya adalah, kalau hendak sekedar melihat bagaimana anggota masyarakat itu berhaluan apa, mudah diketahui dari waktu Subuhnya. Tengok saja dimana anggota dari masyarakat itu yang berjamaah, entah itu dimasjid sini maupun dimasjid sana. Katakanlah, dua organisasi besar yang menaungi perihal berhaluannya anggota masyarakat, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah, beda keduanya bisa diketahui dari waktu Subuh. Sebab kedua lembaga ini mempunyai cara pandang yang berbeda, sekalipun bukan berarti satu diantaranya keliru atau salah sama sekali, bukan. Hanya cara pandang yang berbeda yang menjadikan aktifitas yang tergerakkan menjadikan berbeda. Perbedaan itu muncul, selain cara pandang yang mamang berbeda, landasan dalam mengambil hukum juga tidak sama, sehingga menjadikan demikian, berbeda. Pokoknya tetap sama, Subuh dua rakaat, dari takbiratul ihram sampai salam, berikut syarat syah dan rukunnya.

Untuk mengidentifikasi jamaah masjid disini atau masjid disana, haluan apa yang dilaksanakan oleh jamaah, ketahui saja dari, apakah waktu Subuhnya melakukan kunut atau tidak. Kalau kunut berarti kalangan Nahdiyin, kalau tidak berarti kalangan Muhammadiyah. Sesederhana samata, baik mengalaminya langsung, sekilas memandang atau pernah terlibat menjadi jamaah masjid disini atau masjid disana.

Namun ada kalanya, tidak semuanya demikian keadaannya. Bila sekali waktu ada anggota masyarakat yang karena dalam waktu perjalanan, misalkan, ia hendak mendirikan tiang agama waktu Subuh, mampir dimasjid sini atau dimasjid sana, tak berpikir apa haluan yang dianut, NU atau Muhammadiyah, Subuh ya sholat saja, mengikuti imam. Pokoknya bukan pada kunut atau tidaknya, NU atau Muhammadiyah, tetapi pada tiba waktu menjalankan kewajiban yang paling utama. Namun dalam rukun, sholat itu nomor dua, yang pertama syahadat.

Selain itu, mundur majunya masyarakat, atau secara lebih luas lagi kebudayaan, atau lebih meningkat lagi sebuah peradaban, terutama Islam, mudah diketahui dari waktuSubuh. Kenapa Subuh? Kok bukan Zhuhur, Ashar, Magrib atau Isya’. Secara rentang waktu, fajar itu menyingsing adalah waktu mulainya aktifitas dalam keseharian, beranjak dari istirahat, dari merebahkan badan, dari tidur. Normalnya demikian, awal menjelang pagi hari. Untuk menjalankan aktifitas keseharian di pagi hari, siang, sore, malam dan terus berbutar kembali. Beratnya disana, lagi enak-enaknya istirahat, lagi posisi nikmatnya merebahkan badan, lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, tiba-tiba digugah, atau terpaksa dibangunankan oleh waktu Subuh. Kadang, malas menghinggap, atau justru mengalami berkali-kali waktu dalam kondisi demikian itu saat waktu Subuh.

Disaat itulah ujian dimulai, ujian untuk membuka mata, ujian tersadar dari tidur, ujian dari hawa dingin, ujian turun dari singgasana peraduan, untuk beranjak dari kamar, melangkah mengambil air dan menuju ke masjid, menunaikan sujud. Kadang dalam pikiran, sudah diniatkan dalam hati pula, akan melawan yang kondisi malas itu, tetapi seringnya, justru malah menikmati lebih lanjut, menarik selimut, menutup telinga, lanjutkan tidur, menyambung mimpi. Nah kalau sudah seperti ini, yang menjadi sasaran biasanya selalu dialamatkan kepada setan, yang terkutuk lagi. Padahal setan adalah mahluk paling tertib menjalankan apa yang memang sudah menjadi suratan padanya, dengan izin Yang Maha Kuasa untuk mengganggu Wakil Tuhan dimuka bumi. Kasihan setan, kenapa selalu menjadi sasaran, kambing hitam sebab persoalan. Padahal memang sifatnya demikian, fitrahnya jelas demikian, mengganggu anak Adam.

Mulanya itu waktu Subuh, menuju masjid yang disini atau yang disana, membudayakan sujud, jamaah semakin terdepan, menyusut, paralel dengan maju mundurnya masyarakat, kebudayaan, peradaban. Sekalipun tak sesederhana menarik keparalelannya, tetapi, jikalau pun disangkal, nyatanya ada keterkaitan yang menyimpul kuat. Menjadi tantangan atau malah menantang diri, sebab dalam keseharian pasti menghinggap, waktu Subuh pasti selalu datang, sekalipun diri masih terlelap, sebelum menjelang akhir dunia.

Kalau diperandaikan bahwa, tantangan yang besar juga membutuhkan daya yang besat pula, maka tantangan waktu Subuh adalah tantangan pertama yang harus ditaklukkan, sebelum beranjak kesana-kemari. Hanya diri sendiri pula yang mampu menjalankannya, dalam menjawab tantangan itu, tidak bisa diwakilkan. Kalau pun sampai memang benar-benar tidak bisa, ya sudah didirikan sholat untuknya. Lantas demikian, bukan lagi apakah masjid disini atau disana, kunut atau tidak, NU atau Muhammadiyah, apakah tantangan ini terjawab? kalau dikembalikan, dibalik, apakah dengan persoalan ini menjawab persoalan? Wallahua’lam.

Menjelang pagi ini, kalau banyak yang lain suka mengungkap kesubuhan dalam hal rahasia dan misteri didalamnya, barangkali ini disini sekedar untuk menampakkan berjalannya dalam diri, yang kadang alpa, malah sering kelewat. Lebih dari itu, jikalau ada pesan yang tersampaikan, sebagian dari pitutur dua orang yang melahirkan, sebagian lagi wejangan dari guru ngaji dimasjid dan sebagiannya lagi ujaran dari guru ngajar dikelas.

Komentar