Siapa gerangan manusia itu, apakah iya seonggok daging yang bertulang? Ya
jelas manusia adalah mahluk yang berfikir. Karena kemampuan berfikir itu yang
menjadi manusia berbeda dengan mahluk lainnya. Berpikir adalah kerja dari akal.
Sekalipun binatang memiliki otak, namun tidak mampu dipergunakan untuk
berfikir. Tidak mampu dipergunakan bukan berarti binatang adalah jenis yang
sama dengan manusia, tetapi lantaran otak pada binatang tidak untuk berfikir
sebagaimana manusia, itulah yang menjadi titik beda. Sementara otak sebagai
titik beda, diberdayakan dengan begitu manusia menjadi berfikir atau tidak
mampu diberdayakan sebagaimana pada hewan, bukan berarti menjadikan titik beda
utuh antar keduanya. Berbeda mengadaikan bahwa ada beberapa persamaan sekaligus
didalamnya. Beda sekaligus juga sama ada pada keduanya. Tetapi jelas keduanya
tidak sebagai menjadi satu. Tetap berbeda, binatang ya binatang, begitu juga,
manusia ya manusia.
Sungguh tidak mudah mencari manusia itu, makanya disini ditambahkan dengan
kata [sedang]. [Sedang] itu sendiri adalah proses, pencarian. Proses dari si
manusia (aku) sendiri untuk bagaimana mengenali diri sebagai manusia, sekalipun
secara wujud sebenarnya iya adalah seonggok daging yang bertulang yang memiliki
otak, sama seperti binatang.
Selain memiliki akal, manusia juga memiliki indra yang lima. Kelima indra
manusia mampu menghadirkan segala macam pengatahuan, sejauh daya tangkap dari
kelima indra itu. Mata yang melihat, dengan begitu dari mata si manusia
memperoleh pengetahuan. Telinga yang mendengar juga demikian. Begitu juga
dengan lidah yang mengecap rasa, hidung yang menciuman bau dan kulit yang
merabai. Melihat, mendengar, mengecap, mencium dan merabai atas sesuatu,
padanya belum tentu hal yang sebenarnya. Dengan kata lain kelima indra hanya
menangkap sebagian saja dari sesuatu itu, yang dipersepsi.
Sesuatu itu sendiri apa? Sesuatu itu katakanlah berada diluar manusia,
negasi dari manusia. Bahwa disana ada banyak sesuatu yang berdiri, berada sama
seperti manusia. Berada berarti dia eksis, nampak, nyata. Namun kenyataan
nyatanya bagaimana? Apakah benar seperti yang tertangkap oleh segala kemampuan
untuk menangkap yang dimiliki oleh manusia? Kalau begitu sesuatu diluar manusia
itu tergantung kepada si manusia yang menafsirnya. Menafsir bahwa ada sesuatu
yang eksis diluar manusia belum tentu sepenuhnya sama sebagaimana adanya
sesuatu diluar manusia. Maka untuk menafsir, atau bahwa ada sesuatu yang ada berada
diluar manusia, ia eksis, tergantung dari manusia. Kalau manusia itu sendiri
tidak eksis bagaimana? Apakah sesuatu yang eksis diluar manusia tidak menjadi
nyata keberadaannya. Dengan kata lain, sesuatu yang eksis diluar manusia
masihkah eksis, jikalau manusia hilang, lenyap, tidak eksis, bagaimana?
Pertanyaan-pertanyaan tentang yang eksis, kadang menggugah keinginan diri
untuk mencari jawab atasnya. Jawaban dicari sekalipun belum tuntas menjelaskan
tuntas bagaimana yang eksis itu benar yang eksis. Tetapi paling tidak disanalah
letak kemampuan si manusia (aku) yang [sedang] mencari diriku.
Kalau indentitas pada manusia, ia bisa diintentitas bahwa ia yang ianya
sendiri. Artinya manusia ya manusia. Manusia juga kontradiksi dengan selain
manusia, diluar dirinya. Meja tidak bisa sama dengan manusia. Meja ya meja.
Masing-masing berdiri sendiri. Sekalipun manusia lenyap, meja tetap ada sebagai
meja. Sekalipun manusia tidak kenal, tidak tau bahwa ada meja, meja tetap
menjadi dirinya sebagai meja. Dengan kata lain tidak mungkin terjadi penyatuan.
Penyatuan dalam arti bahwa meja sekaligus manusia, atau manusia juga sekaligus
meja. Tidak. Keduanya tetap berdiri sendiri, keduanya tidak bisa melebur
menjadi satu. Kalau pun dua itu menjadi satu, berarti bukan meja dan bukan
manusia, ia adalah bentuk lain, selain meja dan manusia. Beberapa hal memang
dapat dikatakan keduanya, meja dan manusia, sama-sama ada padanya. Tergantung
cukup alasan untuk mengatakan bahwa meja sama dengan menusia.
Sebelum menjadi meja, apakah meja dengan sendirinya membentuk dirinya.
Tentu tidak. Tetap manusia yang membikin kayu kemudian diolah menjadi berbentuk
meja. Meja yang berasal dari kayu yang diolah oleh manusia, yang kemudian
menjadi bentuk sesuatu yang berada diluar manusia sebagi meja, tanpa manusia,
meja tidak akan berbentuk. Karena keinginan, kemampuan mengolah kayu menjadi
barang yang berkaitan dengan kebutuhan manusia, dengan begitu manusia
menjadikan kayu itu sebagai meja lantaran manusia tidak berdiri sendiri. Bahwa
manusia butuh barang sesuatu diluar dirinya.
Butuhnya manusia atas barang sesuatu diluar dirinya, bukan berarti manusia
bertanggung padanya, pada apa yang dikreasikannya. Bergantung sebatas pada
pemenuhan untuk kebutuhan. Sama seperti kebutuhan atas pakaian untuk menutupi
badan, tubuh. Rumah untuk berteduh. Makanan untuk bertahan.
Paling tidak ada dua perkara dalam memahami manusia. Pertama ia sadar
dengan diri sendirinya, dan kedua ada objek yang berbicara padanya. Kedua hal
ini timbal balik, tidak satu arah. Kalau meja itu ada sebagai meja, tidak hanya
menjadikan meja sebagai objek yang menjadikan meja itu ada karena ada subjek
yang menyadari. Begitu juga sekalipun manusia punya kemampuan, keinginan
terkait dengan meja, si subjek juga harus bergerak mencari tau. Mencari tau
tidak hanya sekedar menyadari adanya meja, tetapi juga telah punya pengalaman
tentangnya, meja.
Yang jelas manusia itu ada dua, yang satu berjenis kelamin laki-laki dan
yang satunya lagi berjenis kelamin perempuan. Kalau mau disebut manusia,
keduanya harus bersatu, bersatu menjadi manusia, yang tak terpisah, tetapi
utuh, sebagai manusia.
Komentar
Posting Komentar