Dalam rangka
menyambut Ramadan kali ini, seperti biasa bersih-bersih selalu menjadi agenda
awal sebelum memasuki Ramadan. Sungguh sebuah karunia lebih, apabila Ramadan
kali ini, kita masih bisa bertegur sapa dan menjumpainya, masih diberi
kesempatan guna bersih-bersih.
Memang suatu
rutinitas, menjelang Ramadan, bersih-bersih identik dengan kesiapan, terutama
menyangkut diri. Bila pada bulan-bulan di luar Ramadan, agenda bersih-bersih,
mungkin bersifat seadanya, rutinitas belaka, namun dalam kesempatan menjelang
Ramadan, bersih-bersih lebih dari biasanya. Bersih-bersih itu sendiri identik
dengan “yang kotor”, makanya yang kotor itu sebelum Ramadan perlu untuk
dibersihkan, agar suasana Ramadan suci, diri bisa menyambut berbarengan
menjalaninya dengan kesungguhan.
Kesungguhan untuk
membersihkan hati, umum dilakukan dengan pelafatan kata-kata bila ada
salah-salah dalam ucapan maupun dalam tindakan. Sebenarnya tidak hanya hati,
inderawi dan akal pikiran pun perlu melakukan hal yang sama, untuk dibersihkan.
Sekiranya hati, indrawi dan akal pikiran sudah dikata bebas dari “yang kotor”,
secara badaniah pun tak kalah untuk pula dibersihkan.
Soal urusan
bersihkan hati, karena hati orang siapa yang tau?, maka diri sendiri yang
paling tau bagaimana cara membersihkannya. Bisa dibilang semacam sign/tanda
hati itu bersih, jikalau orang itu sudah tidak lagi menempa diri dengan; Saya
Itu? begini, begitu dan bla-bla. Artinya orang itu tidak lagi menjagokan
egonya, biodatanya, latar belakangnya, pekerjaanya, posisinya, kepemilikannya
dan menyebut kesemuanya yang menyangkut siapa diri ini. Semua yang dimiliki,
bila memang hati bersih, pasti ia akan menarik kesimpulan; semua ini hanyalah
titipan Ilahi. Suatu saat nanti pasti akan berkurang, habis, lenyap, tidak
dibawa mati.
Menyangkut sucikan
diri, yang disasar adalah badan atau tubuh atau jasmaniah. Dalam rutinitas
kesehatian, barang dua sampai tiga kali kita melakukan pembersihan badan dengan
cara mandi. Nah, menjelang Ramadan perhelatan padusan sebagai pertunjukan
massal dalam rangka membersihkan badaniah, mandi secara bersama-sama ditempat
umum dan terbuka, di sumber-sumber air ataupun dipantai ramai tersiar. Karena
sekujur tubuh ini adalah barang paling bisa dijamah, kasat mata, dapat diraba,
maka dengan bermandi, secara jasmaniah akan terlihat bersih. Namun bersih badan
atau tubuh atau jasmaniah belum tentu suci. Tapi suci mampu membersihkan,
sekalipun padanya kotor.
Karena itu, soal
urusan bersihkan diri dan menyangkut sucikan hati bermula dari dalam diri.
Tampilan luaran hanya pancaran dari dalam. Dengan begitu, yang didalam begitu
juga tampilan luaran itu, hanya diri sendiri yang mampu membersihkannya,
mensucikannya.
Pada Ramadan nanti,
dari tausiah atau kultum atau ceramah akan tersiar jargon soal pahala akan
dilipatgandakan, sedang pintu perdosaan, neraka, akan ditutup dan setan-setan
diikat agar tidak berkeliaran. Bila memang demikian. Apakah soal pahala itu
yang diburu? Bukankah soal pahala berada sepenuhnya pada kuasa Yang
Maha Atas Segalanya. Dalam bahasa yang tidak bermaksud sok-sok-an menafikan
kuasa-Nya, “Ya, suka-suka Tuhan lah soal apa pun itu.” Entah mendapat pahala
atau tidak, entah mendapat kapling disurga nanti atau tidak. Dan, kalau pun
setan dikerangkeng selama Ramadan, kan masih ada manusia. Sedang manusia kadang
bisa menyerupai setan, bisa lebih binatang dari binatang, juga dapat berpolah
seperti malaikat, tak tentu waktu.
Dari
bersih-bersih, pindah ke layar, lihat “yang berlebih-lebih!”
Beralih pada layar
kaca. Dalam rangka menyambut Ramadan, layar TV malah lebih awal memberi sign/tanda
datangnya Ramadan. Iklan-iklan sudah lebih dulu tampil dimuka menjajahkan
barang yang diandaikan bagian dari ritus dalam Ramadan. Mudahnya kalau layar TV
sudah ramai-ramai memasok iklan soal Ramadan dan sekitarnya, berarti puasa sebentar
lagi. Aneh! ada-ada saja.
Saat mulai
bertebaran iklan mewartakan “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”, dunia informasi
hiburan pun tidak kalah gesitnya. Lazim tersiar program pertelevisian
mengkonsep se-Ramadan-mungkin semua tayangan, dari saur sampai buka. Dari
penampilan sosok-sosok terkenal dapat diketahui, bila dulu mereka biasa
mengenakan pakaian terbuka, sekarang sudah mulai memasang penutup, berpaian
“berlebel” muslim dan muslimah. Mudah saja.
Tak ketinggalan,
menjelang Ramadan banyak orang berkunjung kemakan, berziarah ke makam sanak
saudara, namun tidak kalah juga banyak orang berduyun-duyun menjejal ke
pusat-pusat perbelanjaan, untuk berbelanja kebutuhan puasa. Kira-kira kalau
begini, apa yang ditahan? Malah berbelanja selama bulan Ramadan meningkat,
menjelang lebaran malah drastis lagi. Mungkinkan sedang berlomba-lomba dalam
memburu barang dagangan? Untuk nanti berbuat maaf-memaafkan.
Jadi kalau layar
kaca, TV , sudah beramai-ramai menyiarkan iklan, program dan segala macam
berkaitan dengan Ramadan, berarti puasa sebentar lagi akan tiba. Tonton saja.
Lain lagi, soal
penetapan kapan puasa. Nanti bakalan, kemungkinan besar, muncul perbedaan dalam
menetapkan tanggal 1 Ramadan. Seperti tahun kemarin, ada tiga versi dalam
penentuan ini, yakni Muhammadiyah yang identik dengan Hisab, NU
yang identik dengan Rukyat dan Pemerintah yang identik
dengan Imkanur Rukyat. Ini baru dari dua organisasi besar dan
negara. Belum lagi menurut cara dari kelompok lain-lain yang tersebar dipencuru
negeri, dan masih-masing punya jamaahnya. Tinggal yakin menurut… saja yang
mana?
Karena
masing-masing punya metode sendiri, begitu juga dalam pengambilan hukumnya,
maka jangan heran kalau ketiganya akan sama-sama berjalan, jalurnya berbeda
tapi tujuannya sama. Cuma kenapa? ya, kalaupun memang sudah dari sananya dasar
penetapan dan menggunakan cara yang tidak sama, hasilnya pun berbeda, kok tidak
pada bulan-bulan lainnya juga. Ya, berbeda tapi sama-sama berpuasa kan?
Dan, dalam rangka
sabut Ramadan. Selamat menunggu datangnya bulan penuh rahmat itu sebenar lagi,
barang hari ini atau esok hari. Selamat ber-padusan ria. Selamat
berbersih-bersih diri. Ramadan 1434 H.
Komentar
Posting Komentar