[Buku] Menengok Orang Batak Berpuasa


Data Buku:Judul: Orang Batak Berpuasa (Edisi Revisi)
Penulis: Baharuddin Aritonang
Penerbit: Jakarta; KPG, cet II 2008
Tebal: xv + 210 halaman
ISBN-13: 978-979-91-0080-1

Pada kesempatan Ramadan 1433 H tahun lalu, sempat mengulas buku karya Andre Moller berjudul Ramadan di Jawa Pandangan Dari Luar. Sebuah karya yang memfokuskan kajian tentang bagaimana orang-orang Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, dalam memahami dan menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadan. Dalam kesempatan Ramadan 1434 H kali ini, coba mengulas buku yang serupa, karya Baharuddin Aritonang, berjudul Orang Batak Berpuasa.

Sebagaimana disampaikan oleh Azyumardi Azra dalam pengantar buku, kedua karya tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Meskipun serupa dalam pokok pembahasan, yakni tentang per-puasa-an, tetapi berbeda dalam beberapa sisi. Moller memfokuskan kajiannya dalam konteks masyarakat Jawa, sedangkan B. Aritonang beranjak dari lingkungan tanah kelahirannya, Batak. Secara latar belakang juga demikian. B. Aritonang adalah-sebut saja-orang Muslim Batak, sedangkan Moller peneliti berasal dari Barat, Swedia. Apa yang tersaji sama halnya demikian, yang satu bertutur dari pengalaman masa kecil subjektif penulis (pada akhir tahun 1950-an). Sedangkan yang satunya lagi berupa hasil penelitian, sebuah disertasi yang kemudian dibukukan (dalam edisi Indonesia terbit tahun 2005).

Perbedaan yang tak kalah penting lainnya, masih menurut Azra, menyoroti pandangan stereotip terhadap lingkungan masyarakat yang diulas, Batak dan Jawa. Secara jumlah penganut, Islam di tanah Batak terbilang sedikit, dibandingkan dengan agama masyarakat Batak yang umumnya non-Muslim, berikut juga dominannya budaya lokal setempat. Sedangkan di Jawa, dipandang sebagai Islam yang terbilang “abangan”. “Karena itu, pengalaman berpuasa di wilayah seperti ini menjadi fenomena keagamaan dan sosiokultural yang amat menarik.”

Semarak dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadan, di banyak wilayah, seiring sejalan berbauran dengan tradisi setempat. Baik tradisi di masyarakat ketika dalam rangka meyongsong Ramadan, selama Ramadan berlangsung sampai menjelang Lebaran tiba. Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Muslim Batak, di Padangsidempuan, Tapanuli Selatan, di bagian selatan provinsi Sumatra Utara. Menjelang Ramadan tiba, pada masyarakat Jawa di Yogyakarta berjalan tradisi
 padusan, bersih-bersih diri dengan mandi, yang biasanya berlokasi di sumber-sumber air. Hal serupa pula terjadi di masyarakat Muslim Batak, disebutnya marpangir.

Kebiasaan
 marpangir menjelang bulan suci Ramadan, berlangsung sehari sebelum 1 Ramadan. Marpangir berasal dari kata pangir, yaitu ramuan bahan alamiah yang digunakan untuk membersihkan rambut dan sekujur tubuh. Ramuan ini terdiri dari jeruk nipis/purut, daun pandan, ampas kelapa dan pengharum seperti bungan mawar, rosa, kenanga atau akar wangi. (hlm. 10). Makna kedua tradisi ini sama, baik pasudan pada masyarakat Jawa di Yogyakarta maupun marpangir pada masyarakat Muslim Batak, yakni dalam rangka mensucikan diri yang menyangkut dimensi lahiriyah sebelum memasuki bulan suci Ramadan.

Dalam menentukan awal waktu Ramadan, seperti yang terjadi di Ramadan tahun ini, timbul perbedaan hari. Pada tahun-tahun sebelumnya pun, perbedaan dalam menentukan awal bulan terjadi. Dua organisasi besar di Indonesia (NU dan Muhammadiyah) yang memiliki jamaah masing-masing, berikut juga berbeda metode (Rukyat dan Hisap) dalam menentukan 1 Ramadan, menjadikan hasil penentuan awal Ramadan pun berbeda. Tergantung mengikuti yang mana bagi kaum Muslimin, tanpa terkecuali di Padangsidempuan, Tapanuli Selatan.

Setelah memasuki bulan Ramadan, pada malam hari, yang besoknya berpuasa, dilaksanakan sholat tarawih. Sholat tarawih dilaksanakan di
 masojid, nama lain masjid, atau di surau, atau di langgar yang kadang-kadang disebut juga mandersa bila telaknya dipinggir sungai atau di tengah hutan sepi. (hlm. 26). Selain sholat terawih, sahur, berbukan puasa, tadarus, zakat, malam lailatul qadar dan bentuk peribadan lainnya berjalan rutin sebagaimana pada umumnya.

Sebagai penggambaran cerita masa kecil, disini juga mengalir cerita masa bermain ketika dulu mandi disungai. Tentang
 sakating sejenis ikan kecil mirip ikan baung (hlm. 49). Soal buah-buahan, tentang burung-burung yang kini sebagian sulit ditemui banyak. Pergi bermain-main ke kebun sembari menunggu buka atau mencari pucuk rotan, pakkat yang biasanya banyak diperdagangkan saat Ramadan (hlm. 63). Sekedar dengan memancing atau bermain meriam bambu pada sore menjelang berbuka atau setelah malam hari sholat tarawih (hlm. 84). Bercerita mengenai alat unik berteknologi sederhana, namanya losung aek atau lesung air (hlm. 93). Mengenai penganan yang mirip dodol, alame dan cara membuatnya, mangalame, yang sulit dipisahkan dari kehidupan orang Batak dan merupakan kegiatan khas di bulan Ramadan. (hlm. 113). Sebagai anak lelaki, pengalaman di sunat disampaikan juga di sini. Marcunet atau martotak namanya (hlm. 133). Semua cerita mengalir dengan begitu santai.  

Soal pasar ini (juga) amat penting, mengingat kehidupan di kampung sangat bertumpu pada kehadiran pasar (hlm. 139). Bila dalam masyarakat Jawa, ada perayaan
 nyadran, di Batak, khususnya di Angkola, ada upacara syukur yang dimanifestasikan dengan menyajikan makanan atau yang disebut dengan mangupa (hlm. 164). Namun semua ini, kini patut direnungkan dan perhatikan. Bagaimana kekayaan alam hewani dan nabati, tradisi dan adat lokal sebagai surga dan warisan leluhur mulai terkikis habis atau tercampakkan tak digubris, tergerus oleh laju modernisasi.

Sebagai seorang Batak-bagi yang merantau ke tanah seberang-bila menjelang Lebaran, agenda pulang kampung juga dimiliki oleh mereka. Mudik ke kampung halaman menjadi agenda menjelang hari-hari akhir Ramadan. Sesampai di kampung halaman, salah satu tradisi menjelang lebaran adalah dengan membuat lemang,
 mangalomang. Kalau mendengar istilah sadari mangalomang, itu berarti memasak lemang sehari sebelum hari Lebaran. Lemang di Betawi mirip tape uli, kalau orang Minang menyebutnya lamang. (hlm. 187). Sehari setelahnya, baru takbir kemenangan berkumandang, menandai Lebaran telah tiba.

Sebagai pembaca;
 Orang Batak Berpuasa, dari awal sebelum Ramadan datang, selama dalam Ramadan, sampai Lebaran tiba, mengalir begitu rupa. Dalam segi ritual peribadatan, ibadah utama, tidak jauh berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Namun yang berbeda, kadang terselip tradisi serta adat kebiasaan khas masyarakat sekitar dalam setiap waktu datangnya Ramadan. Memberi kekhasan tersendiri pula, bagaimana kaum Muslim pada masing-masing wilayah di pelosok Tanah Air dalam berpuasa merunut kehidupan keagamaan dimana Islam berkembang. Dalam bahasa Moller, sebagaimana diiyakan oleh Azra, bahwa “lebih pas kiranya kita menyebut puasa Ramadan sebagai ritual complex, karena ia mengandung banyak sub-ritual."

Komentar