Puoso Iku: Opo-opo Kerso

Siang tadi, sepupu saya dari kampung menderingkan hp saya. Nama pendek kita berdua hampir sama, hanya berbeda satu huruf diakhir kata. Kalau ia berujung huruf B, kalau saya huruf D. Bedanya cuma satu huruf belakang itu saja, dia Wahib saya Wahid. Suara pertamanya keluar dengan mengucap salam, dan setelah itu saling berbalas tanya kabar. Lebih lanjut pembicaraan kita seperti keseharian biasa saja. Sekedar menanyakan kabar, sedang apa dan hal biasa-biasa lainnya. Lantas ia berucap kondisi di kampung, di ujung Timur pulau Sumatra sana.

Di kampung, katanya, “lagi jarang hujan.” Sawah-sawah pada kering. Tanaman padi yang baru beberapa bulan ditanam, kering, butuh air. Untuk kebutuhan air disawah, dia harus mengalirkan air dari dalam tanah, istilah kampungnya nyedotNyedot dari sumur bor dalam tanah, butuh tenaga manusia untuk membuat sumur bor, sampai siap digunakan. Butuh peralatan lain pula, terutama mesin diasel dan minyak pembakarannya, bensin. Keluhnya, “bensin sekarang mahal”, untuk dapat barang 5 sampai 10 liter, tak jarang berebut, sering antri dari pagi-pagi buta sekali. Saya berangan, “ini imbas kenaikan harga BBM bagi petani.” Tapi soal sawah, kerja kesehariannya, dia pantang.

Sudah bercerita soal persawahannya, lantas saya tanya “puasa ngak?”. “Ya” jawabnya. Setelah kata ya, dia tambahi kata-katanya lagi, “Ya poso…opo-opo kerso” (apa-apa mau). “Ha…ha…” saya berkelakar. Ada-ada saja. Dan berkat dari kata-katanya itu, awal tulisan ini menyusun begini.

Opo-opo kerso
 semacam plesetan kerena dia belum menjalankan puasa. Hari ini (9/7) sebagaian umat Islam menunaikan ibadah puasa, sebagian lain baru besok akan mulai melakukannya. Pertimbangan mengenai perbedaan waktu awal puasa. Memang, sudah menjadi hal biasa. Lantaran metode untuk mengetahui kapan tiba bulan Ramadan berbeda satu sama lain.

Opo-opo kerso
, saya pikir punya makna lebih dalam. Bukan sekedar membikin saya berkelakar tawa saja, tapi kata itu adalah perwujudan dari menahan. Sebelum Ramadan tiba, kita kadang monggo kerso saja. Mau makan sehari tiga empat kali sehari, sepiring, semeja, tidak masalah. Mau minum segelas, sebotol, segalon, air meniral sehari tidak masalah. Sejauh daya perut mampu menampungnya saja.

Urusan makan dan minum adalah kebutuhan kerja biologis manusia. Makanya, puasa sebagaimana sudah diketahui umum, menahan makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenam matahari, selama bulan Ramadan, kebutuhan biologis manusia itu dilarang untuk dikerjakan pada waktu tertentu. Begitu juga bergubungan sex suami-istri. Lebih kompleks lagi, menahan apa-apa dalam berpuasa, tidak hanya soal urusan makan, minum dan sex, tetapi juga pandangan, pendengaran, pengucapan dan semua yang bersangkut paut.

Kalau diwaktu orang lagi berasa lapar, pasti akan mau ditawari makan, begitu juga dengan soal minum. Pun dalam hubungan suami-istri. Salah satu tujuan dua insan disatukan dalam mahligai pernikahan adalah memperoleh keturunan. Prosesnya tidak lain dengan berhubungan yang begituan.

Opo-opo kerso
, disini adalah daya kebiologisan dari manusia itu. Daya dari manusia untuk makan, untuk minum, untuk berhubungan sex. Maka dari itu, dengan puasa, berupaya ber-matiraga, kita diajak untuk menampik yang bersifat opo-opo kerso. Pada manusia, semacam sifat “apa-apa mau” itu kadang terjadi. Baik halal atau haram, kadang hantam sajalah. Dan pada akhirnya menahan bagi saya adalah kunci dari per-puasa-an. Menahan agar diri untuk tidak opo-opo kerso.

Komentar