Kala bencana itu datang, oleh sebab alam ataupun
bukan alam, sebabnya awalnya tetap, manusia. Si manusia yang hidup
dibumi, berlimpah sumber penghidupan, namun begitu, rusaknya alam sudah
pasti kentara sekali oleh ulah manusia itu sendiri juga.
Makanya, polah manusia itu macam-macam
tingkahnya, ada yang sukanya sendiri, misalnya, buang sampah ke kali,
ada juga yang prihatin dan tetap mawas diri, menjaga alam agar tetap
lestari. Tetapi yang namanya bencana, itu muncul belakangan, setelah apa
yang diperbuat si manusia dengan merusaknya, bukan menjaganya. Maka
kala bencana itu datang, siap-siaplah menapaki, sampai mengungsi.
Namun, dan bukan barang aneh, tiap kali bencana itu
datang, selalu menjadi bulan-bulanan, kenapa bencana itu datang,
kembali atau lagi. Seolah tidak ada putus-putusnya. Banjir, itu dulu
pernah terjadi, sekarang juga iya, besok-besok mungkin lebih parah lagi
terjadi. Kalau dibilang belajarlah kepada pengalaman. Pengalaman yang
mana yang tidak bisa dipahami, tiap kali bencana itu menghampiri. Apa
bukan, sangking banyaknya pengalaman, belajar untuk memahaminya itu
menjadi tersendat dan tersumbat. Sebabnya, satu belum selesai, sudah
datang yang lain lagi. Mau belajar kayak gimana, kalau terus-menerus hal serupa terus terjadi.
Bolehlah, kiranya kalau kini bencana itu
datang untuk yang kesekian kali, dan barangkali hafal, bagaimana
perlakuan dalam menghadapinya. Siap siaga. Tetapi dalam bermacam sikap
kesiap-siagaan itu, beberapa kalangan ada yang bersungut-sungut, ada
juga mencibir kecut, banyak juga yang benunjuk, tidak sedikit juga
mengulang membahas kembali kian kesana-kemari, berikut konsep, cara,
solusi yang jangka pendek maupun jangka panjang. Namun yang paling
sengsara adalah yang terkena bencana.
Tiba yang sengsara mengemuka, seiring air,
simpati dan empati sudah pasti mengalir. Bersamaan yang lain pula,
berita susul-menyusul mengabarkan, turut pula penanganan yang sudah,
sedang ataupun akan dilakukan. Memang, apa pun itu namanya bencana,
bukan hadir lanpa alasan. Mungkin, itulah cara Tuhan menegur manusia.
Lewat berbuah-buah teguran yang bukan lagi lewat tanda-tanda yang perlu
dipahami, tetapi sudah alam yang bertindak atasNya. Mungkin juga, ini
pun sudah barang klise, namun bisa jadi pula cara untuk merenungkan
kembali. Merenungkan apa yang sudah diperbuat, meratap.
Meratap, denganya mungkin sudah terjadi
berulang-ulang, berdo’a apalagi. Tapi sudahkah melakoni? Bertindak dan
melakukan sesuatu hal. Biarlah yang tugas itu, secara
otoritas-kebijakan, oleh yang punya tanggung jawab mereka jalankan.
Namun, jangan dibiarkan mereka itu sendiri, tanpa serta mengikuti. Kalau
bencana itu, ibarat hajatan, berarti yang punya gawe semua.
Dan semua harus terlibat, belajar, menangani maupun mengantisipasi.
Usahlah menyalahkan orang lain, ini-itu, jikalau memang sendiri saja
belum berbuat suatu apa. Jangan sampai, semua itu, selesai dibicarakan
dan dianggap selesai pula urusan.
Komentar
Posting Komentar