Merenges Lihat Iklan Rokok

Seorang teman yang tak merokok, baru kemarin dia tau, tau soal iklan rokok saat bertiga nonton TV. Berkomentarlah si teman itu, yang bernada tanya, “oh...iklan rokok sekarang ganti ya?”, begitu katanya, “iya” salah satu teman yang duduk disebelah menjawab, “kok jadi begitu sekarang”, sambung tanya keheranan teman yang tak merokok itu.

Apa yang diherankan teman yang tak merokok itu, terucap saat sedang duduk asik nonton TV tengah malam, saat melihat tayangan diakhir iklan rokok berperingatan “membunuh”. Terang disana, seorang laki-laki berkumis, berambut agak panjang cepak dan agak sedikit mohawk, terapit sebatang rokok diantara dua dijarinya dan dari mulutnya mengempulkan asap. Agak di samping belakang ada dua tengkorak manusia. Gambar dan peringatan dalam iklan itu juga menterakan lingkaran yang didalam lingkaran itu terlulis angka 18 dan tanda plus (+) agak atas.

Kalau melihat iklan rokok yang dimaksud lewat TV, ihwal peringatan bahaya rokok itu, tidak terlalu jelas, yang jelas sekilas lewat. Untuk dipandang dan dibaca, apalagi sampai diperhatikan dengan seksama, terlalu cepat berlalunya. Tetapi kalau mau melihat dengan jelas dan besar-besar, bisa dilihat di banyak tempat, di billboard dipinggir-pinggir jalan dan lokasi strategis.

Kalau diperhatikan lagi, antara peringatan dan bahaya rokok, keduanya tumpang tindih ada dalam iklan itu. Bahaya dapat dilihat dari dua gambaran tengkorak manusia yang berada di samping belakang. Soal peringatan jelas-jelas tertulis disana, “PERINGATAN: ROKOK MEMBUNUHMU”, kata itu cukup ringkas dan tangkas untuk menyampaikan maksud.

Namun, iklan itu juga menjadi iklan bagaimana gambaran orang merokok, ya seperti seorang model dalam iklan itu. Nampak terlihat pula dari iklan, atau mau berkata iklan itu bahwa, setidaknya, pertama, bahaya tentang rokok, efeknya rokok sampai membunuh, kedua, bergayanya (cara) orang merokok. Ini bagaimana bisa, ada dua pesan yang bertolak belakang dan langsung bertautan dalam waktu yang bersamaan! Ada larangan, ada peringatan, tetapi juga ada semacam cara (menganjur) orang merokok.

Perkara rokok, memang mengandung dilema. Dari segi kesehatan jelas mengatakan rokok itu bisa menjadi sebab kematian. Cuma sejauh mana orang itu dapat diketahui mati oleh sebab rokok. Ini butuh bukti rael-empiris. Baru dalam kesehatan sudah muncul dillema. Belum soal mata percaharian petani tembakau. Kalau tidak diboleh menanam tembakau, itu petani, bagaimana bisa menghidupi keluarganya. Soalnya begini, ada teman satu lagi, dia berasal dari salah satu daerah penghasil tembakau, Temanggung, Jawa Tengah.

Teman yang anak petani tembakau itu pernah berujar begini; “saya itu bisa kuliah juga karena tembakau, la kalau tidak tanam, atau gagal panen, ruginya banyak, untuk tanam lagi bisa utang, kepepet dan ngak punya modal. Nah, kalau ngak ada tembakau, ngak bisa kuliah saya, sekolah adik-adik saya juga”.

Rumit memang, memposisikan tembakau sebagai bahan penyebab buruk bagi kesehatan dengan tembakau sebagai produk, hasil tani yang jika tidak dengan menanamnya akan menjadi buruk kebutuhan keluarga, dan bisa jadi seluruh wilayah pertanian yang menjadi tempat tanaman itu dapat hidup. Kenapa tidak diganti dengan tanaman lain? Ini mungkin sala satu caranya. Misalnya dari tanaman tembaku ke kentang, seperti yang ada di daerah Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Cuma, soal kontur tanah dan cuaca tidak memungkin untuk beralih saperti itu. Belum lagi, tanaman kentang justus makin menambah kerusakan lahan, akibat dari pemakaian pupuk yang berlebih. Ditambah, tanaman kentang akan mengalami proses pertumbuhan yang buruk, kurang baik, jika ada yang menghalangi tanaman itu tumbuh. Makanya, dimana hamparan tanaman kentang itu ditanaman, hampir tidak ada tanaman atau pohon lain yang hidup di sekitar dan disekelingnya. Praktis hampir tidak ada, dan hampir tidak dapat ditemui di Dieng.

Diluar proses tanam-menaman, secara komoditas, tembakau memiliki pangsa pasar yang luas dan besar. Kolonialisisasi, yang pada awalnya untuk sekedar menilik sementara wilayah yang dianggap wilayah yang belum punya tuan, akibat dari bagi-bagi wilayah antara Portugis dan Spanyol, pada akhirnya bermuara pada perampasan sumber daya alam, tembakau salah satunya, merembet sampai zaman pendudukan penjajah di Indonesia, Belanda. Oleh para kolonialis itu tembakau masuk pasar dunia, dan tembakau bernilai tinggi dan bernilai ekspor. Sekarang giliran raksasa kapitalis yang menguasai sepenuhnya. Dari tanam sampai pemasarannya, diakui, dikuasai oleh pemegang kapital. Philip Morris Internasional dan sekutu merek-merek lainnya, praktis menjadi pemegang kendali atas tembakau. Dengan begitu pula menjadi pemangku atas aturan main rokok dunia. Bisa digayangkan bagaimana rokok menjadi komoditi besar, segenjar cukai dari rokok menjadi sumber pajak, dan produsen rokok sebagai basis sponsor dari beragam aktiftas dalam jagat hiburan dan pertandingan.

Soal lain, ada juga langkah praktisnya, kalau mau melarang, pertanyaan klisenya, kenapa tidak ditutup saja pabrik-pabrik rokok? Sekalian babat habis. (Belum keluar jawab atas pertanyaan itu, sudah muncul persoalan yang berkaitan, jika memang benar akan seperti itu, soal dampak). Tapi kalau ditutup itu pabrik, berdampak banyak sekali pada soal yang lain, soal pekerja pabrik rokok, apalagi petani tembakau, pajak juga. Disini pemerintah berperan, berperan dalam permainan antara melarang tapi disayang. Mau kuliti habis rugi secara ekonomi, mau dibiarkan merugikan kesehatan. Itulah iklan rokok, melarang tapi sekaligus diiklankan.

Pada akhir komentar teman yang tidak merokok itu, setelah melihat iklan rokok di TV, merenges saja ia. Merenges sambil bilang “lucu ya iklan rokok”. Lantas ia berucap lagi, “ha..ha.. siapa ya yang jadi model iklannya”.

Komentar