Secara geografis
Indonesia punya dua musim, hujan dan panas. Waktu musim hujan, banjir kadang
selalu menjadi cerita dibalik datangnya musim. Malah identik. Apa yang
menjadikannya identik, oleh sebab masalah pembabatan hutan, hilangnya lahan
serapan, got, selokan, kanal yang tersendat, sampai sampah, yang turut bersama
pengkabaran saat musim hujan. Seolah tiada hentinya tiap musim hujan itu datang,
masalah air menggenang setumit, selutut, sepinggang, sampai setinggi genting
ikut serta mengalir. Makin tambah meluap dari dampak yang timbulkannya, longsor
atau banjir bandang, turut senyiratkan sinyal akan adanya pengungsian sampai
hilangnya benda dan nyawa.
Tak jauh
beda saat musim panas. Asap menyelimuti angkasa raya. Dari buka lahan, sampai
kegersangan yang meranggas hutan, memicu timbulnya api yang dapat membakar apa
saja. Jelasnya, tidak asap tanpa adanya api. Kemarau pun menuntut kewaspadaan penghidupan,
soal air dan kekeringan. Tidak ada air, bagaimana bisa hidup. Lebih
mengernyitkan kening lagi, jika kekeringan melanda. Sudah tidak ada air, lahan
penghidupan mati kurang air, dan lapar melanda karena bahan makanan habis.
Aking dan ketela kadang menjadi alternatif. Begitulah kiranya, musim
panas yang mengeringkan air, membakar dan meniupkan asap.
Dari
musim panas dan hujan, sudah timbul banyak masalah. Sebenarnya, bukan masalah!,
jika tiap musim itu datang, sebab-sebab yang menjadi akibat buruk yang
tertimbulkan itu, bisa ditanggulangi sebelumnya, dirampungkan lebih dulu. Dari
hulu sampai hilir. Dari pusat sampai daerah. Dari tempat mewah sampai pelosok
sampah. Urusan banjir dan asap, saat musim hujan dan panas, kedua-duanya jangan
dianggap ancaman, sebab kedua musim itu datang tiap waktu. Jadi kalau tiap
datang silih dan bergantinya musim, tapi masih ada banjir dan asap, ini bukan
sola musim lagi, tapi soal manusia yang sudah tak paham tentang alamnya, sudah
dirusaknya alam, dibabat, dikeruh habis. Nafsu sudah menguasai manusia untuk
menundukkan alam. Alam sudah dikuasai si manusia. Tinggal lihat si manusianya
saja bagaimana. Bagaimana ia mengatasi, merenungi, atau sudah dibiarkan saja,
tok alam punyai mekanisme sendiri untuk memperbaiki diri.
Ya,
begitulah, Indonesia yang tropis. Tetapi disela-sela musim, silih dan
bergantinya musim, ternyata ada juga dikenal musim yang mungkin hanya dikenal
disini, di Indonesia. Bila tiba musim durian, kadang disebut musim juga.
Begitupun tiba musim rambutan, salak, mangga, jeruk dan kawan-kawannya. Atau
yang berbau religius, ada namanya musim Haji. Musim yang memberangkatkan jamaah
ke Mekkah. Mabur (terbang) ke tanah suci, pulang jadi Mabrur. Kiranya
ini sebagian dari beberapa musim yang menambah banyaknya musim di Indonesia,
jadi tidak hanya hujan dan panas, tapi serta juga musim buah dan jamaah.
Rupa-rupanya, ada banyak musim di Indonesia ini.
Masih
terkait dengan musim, kali ini musim yang akan segera datang, April 2014
mendatang, ini juga turut meramaikan suasana Indonesia yang tropis. Disamping
kabar banjir dan asap, musim yang lekat dengan pesta demokrasi, kian sudah
menampakkan diri, bahkan jauh-jauh hari sebelumnya. Sebut saja namanya musim
kampanye. Tanda musim kampanye itu datang, mudah sekali untuk diketahui. Kalau
sedang berjalan-jalan, coba perhatikan saja, sepanjang jalan yang dilalui,
berderet ditemukan yang namanya pamflet, spanduk, baliho, atau bendera partai
peserta pemilu. Entah di tiang listrik, di pohon-pohon, di tembok-tembok, dan
diruang terbuka lainnya. Hampir memenuhi tiap sudut ruang kala mata memandang.
Tidak
habis pikir, kenapa meraka itu berbuat demikian, dengan bermacam-macam atribut
itu, para caleg, para cepres-cawapres, partai peserta pemilu, sibuknya minta
ampun cari muka dihadapan rakyat. Cari muka lewat slogan-slogan, lewat
janji-janji, lewat iklan dan di televisi. Tak luput dari perhatian, kendaraan
juga ikut dipermak, ditempeli macam-macam muka caleg dan bendera partai.
Merengek mohon do’a restu dan dukungan. Tampil semenarik mungkin, tebar pesona
artis, seolah ingin dekat dengan rakyat, ingin digandrungi oleh rakyat.
Sebagai
tahun politik, katanya, pemilu 2014 untuk urusan ideologi partai sepertinya
sudah selesai. Begitupun platform partai. Tinggal yang sering kali berebut
tampil dimuka, tampil sebagai yang jujur, amanah dan mengerti penderitaan
rakyat, itu yang sering dikenal, hafal sudah. Untuk meningkatkan elektabilitas
partai, survey digencarkan. Pemetaan wilayah mana yang menjadi basis,
ditunjukkan dengan tiap beberapa meter, ditemui bendara partai mentereng
dipinggir jalan. Sampai aspal jalan, juga ikut dilukis gambar partai. Ini musim
yang menebar sampah betulan. Sampah visual, sampah pemandangan.
Kita tau,
siapa pemilik media, itu digunakan untuk menggaet anggapan publik. Publik
dihadapkan pada cerita usang yang tampil setiap waktu lewat sajian iklan
partai. Padahal kita pun juga tau, mana ada partai yang tidak bermasalah.
Partai, mana ada yang tidak tersangkut kasus korupsi. Politisi partai mana yang
bersih dari korupsi. Lahan mana yang tidak dirambah para politisi partai.
Kepentingan apa, kalau bukan kepentingan partai dan kelompok. Kalau bukan
masalah moral, lalu apalagi. Bila sudah begitu, apa bukan sampah namanya.
Sampah negara, sampah masyarakat.
Ini musim
memang benar-benar aneh, menghujani segala penjuru, dari sudut-sudut kota
sampai pelosok, memanasi ruang tempat tinggal sampai ruang terbuka umum. Coba,
keluar rumah, pandang kanan-kiri sekitar, ada tidak yang alpa dari macam-macam
muka caleg, ada tidak yang pulut dari bendera partai yang melambai-lambai.
Seiring datangnya ini musim, tebaran atribut caleg dan partai politik peserta
pemilu 2014, akan semakin menebar kemana-mana, kalah tebaran abu Gunung Kelud.
Ini musim tak kenal hujan, tak kenal panas. Meski, tak ada air tak ada angin,
tancap terus, melaju dalam panggung demokrasi, di Indonesia yang tropis.
Komentar
Posting Komentar