Sudah
lama... tak menulis yang bisa dilampirkan iseng dimari [blog ini jadi sekedar
tempat bersemayam kata-kata seperti yang tertera, dari pada terserak
dimana-mana ngak jelas]. Entah sebab tak ada gereget untuk menulis,
entah karena memang sebenarnya tak bisa menulis, dan entahlah. Eit...,
sebentar, bukankah “entahlah” ini sebenarnya yang harus ditelusuri, dicari
tahu, kenapa entah? Seolah entah itu di luar sana. Padahal “entahlah” itu, itu
asalnya dari dalam. Ia tak terpisah, tak berasa di luar sana, tapi ia di dalam
sini. Seperti kalau orang bilang, meniru lirik poluler: “sakitnya tu disini”,
“entahlah” itu juga disini. Disini bukan menunjuk ke dada sebelah kiri, yang
mengarah ke dalam hati, tapi menunjuk ke kepala bagian samping. “Mikir”, kata
Cak Lontong.
Saya kadang merasa (berpikir) begini. Kenapa
orang lain begitu mudah menulis, lagi enak dibaca. Tulisannya seolah mengalir
begitu saja. Padahal bukan perkara mudah, begitu ungkapan yang sering terucap,
membuat tulisan yang bagus lagi renyah untuk dipahami. Memang, seseorang kalau
memang ia sudah punya bakat menulis, piawai merumuskan kata-kata, banyak baca,
punya banyak pengalaman, lagi kaya imajinasi, mudah baginya menghasilkan
tulisan ciamik. Tapi, ya, saya ini bukan yang seperti yang saya pikirkan itu.
Jauh.
Kadang
boleh dibilang setengah mati rasanya, kesana-kemari, berihktiar begitu, mencari
ide, inspirasi, diluar sana jauh mengawang-awang, dengan begitu tulisan
nantinya akan keluar, mengalir. Tapi yang dilakukan sebetulnya hanya sekedar
memikir-mikir saja. Tidak keluar dari proses memikir-mikir itu jua. Jatuhnya,
ya, memikir-mikirkan saja. Tidak lebih. Kalaupun lebih, menguap ia jadi semacam
gelembung udara, tapi yang berisi kata-kata. Membual begitu. Mengawang-awang
tanpa sandaran, tanpa rujukan, tanpa referensi.
Ya,
sejauh ini, yang saya pahami, beragam jenis itu namanya tulisan. Esai, opini,
ilmiah, dsb (=dan saya bingung!). Paling tidak, tulisan yang bagus menurut
saya, maksudnya: akan menghantarkan ke sidang pembaca kepada pemahaman dari sesuatu
yang ia ulas lewat dalam tulisan itu. Sekalipun orang yang membacanya, tak
sampai kepada apa yang dimaksudkan oleh si penulis. Paling tidak orang yang
membacanya, khatam, tandas. Terus membuatnya ingin menelusurinya lebih lanjut.
Sampai pada pemahaman utuh. Utuh yang tak berjarak tentunya.
Biasanya
ada saja alasan–untuk tidak mengatakan tidak bisa menulis–kenapa kok tidak
ditulis saja? Bisa jadi ada hambatan yang menyubat kata-kata keluar dari
sarangnya. Sumbatan dalam isi kepada ini, keberadaannya tidak tampak, namun ia
ada. Adanya seperti kalau orang buang angin, kentut, dut....sedikit atau
banyak, baunya terasa, tetapi wujudnya tak ada. Begitupun kira-kira yang
menyumbat isi otak ini unutk keluar.
Memang,
disamping karena berbakat menulis, untuk bisa menulis ada prosesnya. Belajar
makanya. Belajar kepada yang bisa menulis.
Saya
ambil patokan. Orang yang bisa menulis, plus tulisannya bagus adalah ukuran
mudahnya yang tayang di koran. Tulisan yang dimuat di koran-koran, nasional
maupun lokal, paling tidak sudah bertarung dengan tulisan-tulisan lain, yang
pada akhirnya dituntaskan oleh penilaian redaksi. Bagi yang pernah menulis,
lalu dikirim ke alamat redaksi media cetak pasti pernak di tolak. Bahwa tulisan
yang dikirim itu tidak memenuhi syarat untuk dimuat. Lebih tegas lagi
sebenarnya, tulisan yang dikirim itu sampah isinya, ndak ada
bagus-bagusnya! (Wah ini bentuk kejamnya kali). Ya, sudahlah. Mau apa lagi, mungkin
belum saatnya. “Coba terus saja”, kata orang menyemangati.
Oke, saya
coba! Dan ini hasilnya [untuk sementara waktu].
Komentar
Posting Komentar