Judul: Memahami Islam Jawa│Penulis:
Bambang Pranowo│Penerjemah: Ridwan Muzir│Penerbit: Alvabet, Jakarta│Tahun
terbit: Oktober 2009│Tebal: xxii + 381 halaman│ISBN: 978-979-3064-70-3.
Sebagai orang Jawa
masih mengikuti tradisi, upacara serta perlambang, namun iman dan tauhidnya
mengikuti ajaran Islam. Tradisi Jawa yang banyak mengandung lambang, tidak
harus dianggap sebagai menyekutukan Tuhan. Lambang-lambang dari tradisi
merupakan ciri khas orang Jawa, seperti juga adanya ciri-ciri khas lain yang
masih melekat pada suku-suku bangsa selain Jawa.
Kutipan di atas berasal
dari Karkono Kamajaya Partokusumo, penulis buku Kebudayaan Jawa, Perpaduannya
dengan Islam (1995: 301). Partokusumo yang semasa hidupnya dikenal sebagai
ahli kebudayaan Jawa, tetapi paham Islamnya lebih dekat pada Muhammadiyah,
menyatakan begitu dalam rangka menanggapi hasil penelitian Clifford Geertz
mengenai agama Jawa.
Geertz yang melakukan
penelitian di Mojokuto (nama samaran daerah di Kediri, Jawa Timur yang kini
terkenal dengan Kampung Inggris) menyimpulkan bahwa identitas agama Jawa dalam
kategori abangan, santri, dan priyayi.
Geertz yang melakukan
penelitian pada tahun 60-an menuturkan bahwa abangan itu kalangan
masyarakat yang menempatkan slametan menjadi ritual terpenting.
Praktik slametan bertujuan untuk menenangkan roh-roh serta untuk
memperoleh keadaan slamet (terbebas dari bahaya, malapetaka, bencana,
maupun tidak adanya perasaan sakit hati pada orang lain serta keseimbangan
secara emosional).
Kategori santri,
merupakan masyarakat yang dikatakan sebagai kalangan Islam murni. Ciri tradisi santri
adalah pelaksanaan ajaran dan perintah-perintah dasar agama Islam secara
hati-hati, teratur seturut syariat dan fikih Islam. Sedangkan priyayi
merupakan keturunan darah biru dan pegawai plat merah. Nilai utama dari etos
priyayi yaitu nrima, sabar, dan ikhlas.
Enak betul Geertz menjlentrehkan
agama Jawa dalam buku Religion of Java (1960) secara kategoris begitu.
Padahal waktu terus bergerak, dan itu artinya perubahan pasti terjadi. Dalam
memahami tradisi masyarakat pun demikian. Seperti yang dikatakan oleh
Partokusumo, sekali lagi, bahwa “Tradisi Jawa yang banyak mengandung lambang,
tidak harus dianggap sebagai menyekutukan Tuhan.” Atau bahasa agamanya
dikatakan syirik.
Satu lagi karya yang
menyodorkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kehidupan sosial-keagamaan Muslim
Jawa seraya menunjukkan ketidaktepatan pandangan Geertz, adalah buku karya
Bambang Pranowo Memahami Islam Jawa (2009). Dengan sudut pandang
proses ‘menjadi’, Pranowo menjelaskan bahwa Islam yang menyebar di pedalaman
Jawa masih merupakan kelanjutan dari proses Islamisasi Jawa. Pendek kata,
termasuk Islam di Mojokuto itu belum rampung berdiri, tetapi masih terus
bergerak ‘menjadi’.
Buku Memahami Islam
Jawa karya Bambang Pranowo merupakan karya disertasi untuk meraih gelar
Ph.D di Department of Antropology and Sociology, Monash University.
Tegalroso (nama
samaran), sebuah desa tegalan di pedalaman Jawa Tengah yang dijadikan sebagai
lokasi penelitian, awalnya dikenal sebagai desa kriminal. Secara segi keagamaan
masyarakat Tegalroso kebanyakan mencerminkan “Muslim nominal” alias Muslim
hanya namanya namun tidak mencerminkan pada diri seorang muslim yang taat. Baru
belakangan warga desa Tegalroso mulai menjadi langkung sae Islamipun (Muslim
yang lebih baik).
Dalam proses menjadi
Muslim yang lebih baik itu, ada budaya keagamaan santri yang mendorong kalangan
abangan menjadi langkung sae, yaitu mujahadah dan
tradisi pengajian. Secara istilah, mujahadah berasal dari bahasa Arab jahada
yang berarti ‘bersama-sama berjuang sekuat kemampuan’. Istilah mujahadah
awalnya digunakan di Pesantren Tegalrejo untuk menyebut ritual harian bagi
santri yang dilakukan antara waktu sehabis salat Magrib sampai Isya.
Mujahadah sebagai tradisi keagamaan yang relatif baru kemudian
menjadi laku praktik keagamaan masyarakat Tegalroso atas usulan Kyai Chudlori.
Meskipun awal bentuknya sama dengan slametan, secara pokok-inti mujahadah
berbeda. Membaca beberapa surat dan ayat Al-Quran, mengulang hafalan nama-nama
Allah, melantunkan kalimat tauhid laa ilaaha illa Allah secara berulang-ulang
menjadi inti dari mujahadah.
Menurut Greertz, selama
slametan yang ditekankan “Kemenyan dan aroma makanan dianggap sebagai
makanan untuk para roh…”. Ini yang sering dulu dilakukan oleh orang-orang Jawa
pada masa awal Islam belum begitu mengakar. Setelah itu Islam semakin kuat
menjadi laku hidup, penekanan lebih kepada Gusti Allah dengan tidak menolak
keberadaan para roh (gaib), tapi menolak kekuatannya. Munculnya tradisi mujahadah
menjadikan beberapa peristiwa yang di masa lalu ditandai dengan slametan,
sekarang ditandai dengan mujahadah. Itu artinya, mujahadah di Tegalroso
perlahan-lahan membawa warga kepada Islam yang langkung sae. (hlm.
148). Sampai di sini, tampak laku abangan yang menempatkan slametan
sebagai ritual terpenting menurut Greertz, nyatanya bergerak ‘menjadi’ Muslim
yang lebih baik menurut Pronowo.
Ada pelajaran lainnya
yang dapat dipetik dari buku Memahami Islam Jawa. Seperti misalnya ada
orang yang belum terpanggil melaksanakan kewajiban salat (rukun Islam kedua)
tidak malah dikucilkan apalagi dikafir-kafirkan. Warga Desa Tegalroso malah
tidak pernah menghakimi keberagamaan seseorang. Kepada orang yang belum salat
itu disebut dereng nglampahi (belum melaksanakan) dan bukannya mboten
nglampahi (tidak melaksanakan). Dikatakan dereng nglampahi sebagai
bentuk proses ‘menjadi’ muslim (state of becoming) yang taat. (hlm.
363).
Beda dengan kondisi
zaman now, di mana banyak orang menjadi latah mengatakan kepada sesama
saudara Muslim sebagai kafir, suka mengumbar kebencian, berebut menjadi yang
paling benar, suka marah-marah, dan beragam ungkapan yang tidak mencermin
sebagai seorang Muslim yang santun.
Sebagai studi yang
menjelaskan watak kehidupan sosial-keagamaan Muslim Jawa yang dijalani dan berkembang
di wilayah Tegalroso, membaca buku ini, ada rasa di mana seolah kita sedang
hadir langsung, duduk diam ikut mengaji. Sebab banyak tuturan yang secara
langsung mengambar-jelaskan perihal makna sesuatu seturut keilmuan yang
dipahami. Seperti penjelasan Pak Rajiman tentang mengapa sebelum salat orang
harus berwudu dengan membasuh sebagian anggota badan. Itu karena:
“Dalam
berwudu, kita berjanji kepada Allah untuk menggunakan tangan, mulut, kepala,
telinga dan kaki kita dengan sebaik mungkin; tidak pernah mengambil harta milik
orang lain, berbicara sopan dan baik kepada orang lain, dan tidak mengucapkan
kata-kata yang menyakiti hati; tidak mengisi kepala kita dengan pikiran-pikiran
jelek; menggunakan telinga kita hanya untuk mendengarkan hal-hal yang baik; dan
memelihara kaki kita ke jalan yang benar. Inilah sebabnya mengapa dalam salat
orang mengucapkan ihdinas shirathol mustaqiem yang berarti ‘tunjukkanlah kami
jalan yang lurus’. Selama kamu bisa melakukan perbuatan-perbuatan yang baik,
dan hatimu benar-benar percaya kepada Allah dan Kanjeng Nabi, itu berarti kamu
sudah menjadi Muslim yang baik.” (hlm. 271).
Adem rasanya. Dalam
kesempatan lain Pak Rajiman membacakan ‘aji’ untuk memantapkan hati manakala
diri sedang ragu-ragu atau bingung. Bunyinya:
Bismillah. Bis, kang dadi tulising ati/Mil, kang dadi padanging
ati/Llah, kang dadi pangucapku/Ana asmaning Pangeran/Assalamu’alaikum, Salam.
(hlm. 275). (Bismillah. Bis, apa yang tertulis dalam hatiku/Mil, apa
yang menerangi pikiranku/Llah, apa yang menjadi ucapanku/Dengan nama Allah yang
menciptakan manusia/Keselamatan atasmu, Selamat)
Dari masyarakat Tegalroso
sebagai gambaran dari masyarakat pedesaan, yang ndeso, ternyata memainkan
peran aktif dalam memahami ajaran Islam sekaligus mengembangkan tradisi Islam.
Dari masyarakat Tegalroso kita dapat belajar ‘menjadi’ Muslim engkang langkung
sae. Semoga.
*) tulisan ini tayang lebih dulu di web literasi masjid
Komentar
Posting Komentar